Peneliti sekaligus Dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Reni Suwarso sebut hampir 90% Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) atau TPS3R di Indonesia mangkrak. Apa penyebabnya?
TPS3R adalah tempat pengelolaan sampah yang bertujuan untuk mengurangi dan mendaur ulang sampah di skala desa atau komunitas. Pada dasarnya TPS3R merupakan fasilitas yang dibangun oleh pemerintah untuk desa.
Namun, setelah diserahterimakan kepada desa, pengelolaannya tidak didampingi secara berkelanjutan. Akibatnya, tidak ada kegiatan yang dilakukan di banyak TPS3R.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hampir semua TPS3R dibangun oleh pemerintah (lalu) diserahterimakan kepada desa habis itu stop, tidak ada dana operasional. Memang pelatihannya ada, manajemennya, operatornya ada pelatihan, tapi setelah itu stop," ujar Reni di acara bincang media Riset KONEKSI untuk Solusi Pengelolaan Sampah di Kembang Goela Restaurant, Jakarta Selatan, Kamis (24/7/2025).
Reni menyebut, data tentang SP3R tertuang dalam studi yang dilakukan Indri Kurnia berjudul Development Policy and Management of 3R TPS in Indonesia dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Pada studi tersebut dijelaskan berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasiona (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup, masih terdapat 39,53% atau sekitar 5,8 juta ton/tahun sampah yang tidak terkelola.
Namun, data tersebut hanya berasal dari 374 dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada 2023. Dalam Laporan Evaluasi Pelaksanaan TPS3R Tahun Anggaran (TA) 2015-2022 disebutkan bahwa dari 922 lokasi TPS3R, hanya 538 lokasi (58,35%) yang berfungsi dan 384 lokasi (41,65%) yang tidak berfungsi.
Angka hampir 90% yang Reni sebutkan sebelumnya merupakan hasil prediksi akademisi dan NGO bila dihitung dengan data yang tidak masuk ke dalam laman https://simantu.pu.go.id/. Hingga saat ini, belum ada studi yang komprehensif untuk mendata sebenarnya ada berapa TPS3R yang pernah dibangun dan bagaimana status terbarunya.
Petugas Operator Sampah Sukarelawan Tapi Jam Kerja Wajib
Reni menyebut, para pekerja di TPS3R bersifat sukarelawan. Namun, para petugas ini diharuskan bekerja dari Senin hingga Jumat dari pukul 05.00 pagi hingga 16.00 sore.
"Mereka (pemerintah) berharap bahwa orang itu sukarela bekerja di TPS. Kalau kita sukarela ya berarti sekali-sekali datang, tapi kalau dia mesti datang dari jam 5 pagi sampai 4 sore dari Senin sampai Jumat, siapa yang mau sukarela?" ungkap Reni.
Selain itu, Reni menemukan bila petugas operator sampah di TPS3R tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak ada di struktur desa.
"Di dalam peraturan pemerintah itu dana desa tidak bisa digunakan untuk membayar gaji para operator. Kenapa? Karena operator sampah itu tidak termasuk sebagai struktur pemerintahan desa," bebernya.
"Kalau dia masuk di struktur pemerintahan desa bisa dibayar oleh dana desa. Tetapi TPS itu di luar, jadi nggak bisa dibayar," sambungnya lagi.
Dua faktor itu, membuat banyak petugas enggan bekerja di TPS3R. Akibatnya, TPS3R mengkrak dan sampah tidak terurus dan berujung dibuang ke sungai.
Ketika sampah dibuang ke sungai, banyak dampak yang ditimbulkan. Termasuk ancaman banjir dan kualitas air yang menjadi buruk.
Ada Juga TPS3R yang Sukses
Meski banyak TPS3R yang mangkrak, Reni menyebut tetap ada pengelolaan TPS3R yang sukses. Salah satunya yang berada di ranah penelitiannya yakni di TPS3R Desa Padamukti, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Selain itu, ada juga TPS3R Sapuhjagat di Badung, Bali. Setelah melihat kondisi tersebut, Reni menyebut ada beberapa faktor yang membuat TPS3R bisa sukses, yakni:
1. Dekat dengan daerah pariwisata
"Karena APBD-nya banyak dan ada objek turis di situ, mau restoran, hotel, mereka itu bayar (uang sampah), karena mereka nggak mau dong sampah bertebaran, turis mana datang. Jadi sukses," sebutnya.
2. Dekat dengan perkantoran dan perumahan kaya
Dari kedua faktor itu, Reni menyimpulkan uang atau pemberian dana kepada TPS3R lah yang menjadi penentu keberhasilan. Bila TPS3R desa, masyarakat sekitar sulit untuk membayar iuran sampah.
"Karena mereka bilang ya buat makan juga susah. Ada contoh sukses, tetapi sedikit, karena tadi masyarakat kita mayoritas memang ada di posisi kurang beruntung," tandasnya.
Tidak sendiri, Reni menggandeng Dwinanti Marthanty dari Fakultas Teknik UI melakukan penelitian berjudul Citarum Action Research Project (CARP) - Transisi Ekonomi Sirkular untuk Iklim dan Lingkungan yang Tangguh di Masa Depan.
Studi ini juga merupakan proyek penelitian kolaboratif yang melibatkan UI, Monash University dan lembaga lain. Adapun pembiayaan riset dilakukan oleh Knowledge Partnership Platform Australia-Indonesia (KoneksI), IPPIN-CSIRO, dan Pengabdian Masyarakat (Pengmas) UI.
(det/nwk)