Peran orang tua dalam membentuk prestasi anak tak bisa dipandang sebelah mata. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menekankan pentingnya atensi dan pola asuh sejak dini sebagai fondasi perkembangan kognitif anak.
Stella menyampaikan kapasitas berpikir anak sebenarnya sudah terbentuk sejak bayi. Namun, hal itu tidak serta-merta berkembang maksimal tanpa stimulasi dari lingkungan terdekat, terutama dari orang tua.
"Kemampuan kognitif kita waktu lahir sudah sangat tinggi," ujar Stella dalam wawancara khusus dengan detikEdu di Grha Kemdiktisaintek, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (18/7/2025) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan temuannya dalam riset psikologi kognitif, bahwa bayi usia tiga bulan sudah dapat membedakan jumlah benda dan menunjukkan kemampuan berpikir matematika dasar. Menurutnya, ini bukti kuat potensi anak sangat besar sejak dini. Namun, potensi ini hanya bisa berkembang bila orang tua hadir dan aktif dalam proses tumbuh kembang anak.
Sayangnya, lanjut Stella, kesadaran orang tua akan pentingnya interaksi langsung seringkali kalah oleh kemudahan yang ditawarkan teknologi. Salah satu momen yang seharusnya penuh interaksi justru kerap dilewatkan begitu saja yaitu saat makan bersama keluarga.
"Kadang sedih kalau lihat anak usia tiga tahun duduk di meja makan sambil menonton gadget," ucap ilmuwan kognitif sekaligus guru besar di Universitas Tsinghua, Beijing, China itu.
Padahal, menurutnya, momen makan bisa menjadi ruang berharga untuk membangun kemampuan bahasa dan berpikir anak melalui percakapan sehari-hari. Misalnya, percakapan sederhana seperti menanyakan "Mau buah ini gak?" bisa memancing reaksi dari si anak, baik dalam bentuk ekspresi, penolakan, hingga rasa ingin tahu.
"Anaknya bisa bilang, saya gak suka. Nah, kan harus ngomong, harus mikir kan anaknya. Atau misalnya anaknya terus tanya, ini buah apa? Oh ini mirip jeruk rasanya, tapi lebih asem," ujar Stella.
Dari situlah proses belajar terjadi, anak mulai mengenal nama benda, belajar menyampaikan pendapat, dan bahkan memahami perbedaan rasa melalui deskripsi orang tua.
"Bisa terbentuk pengetahuan dari pembicaraan. Jadi bukan menonton gadget atau game itu jelek, tapi waktu makan anak tersebut jauh lebih efisien untuk mempertukar kemampuan berpikir dan nalar kita dari pembicaraan," jelasnya. Konsep ini sejalan dengan teori social learning, atau pembelajaran sosial, yang dalam ilmu kognitif terbukti sangat efektif dalam membentuk kecerdasan anak.
Ia juga memberikan contoh universal mengenai kemampuan anak-anak dari berbagai negara dalam menyerap bahasa ibu mereka di usia dini. "Anak-anak tiga tahun sudah pasti bisa berbicara dalam bahasa ibunya, entah itu Indonesia, Arab, atau Prancis," ungkapnya.
Ini menunjukkan bahwa kemampuan otak anak untuk menyerap informasi dan bahasa sangat tinggi, asalkan terus diasah.
Stella menegaskan masa-masa awal perkembangan anak adalah periode emas. "Bagaimana kemampuan kognitif awal ini terus menerus diasah dan dikembangkan, itulah mengapa atensi dan pola asuh menjadi sangat penting," katanya.
(pal/nwk)