Bikin Konten Pakai Lagu AI dan Video AI, Emang Boleh? Pakar Binus Bilang Gini

ADVERTISEMENT

Bikin Konten Pakai Lagu AI dan Video AI, Emang Boleh? Pakar Binus Bilang Gini

Trisna Wulandari - detikEdu
Selasa, 01 Jul 2025 20:00 WIB
Guru Besar bidang Ilmu Filsafat Hukum Binus University Prof Dr Shidarta SH MHum
Guru Besar bidang Ilmu Filsafat Hukum Binus University Prof Dr Shidarta SH MHum menegaskan perlunya etika dan transparansi pembuat konten AI. Foto: Trisna Wulandari/detikE
Jakarta -

Pembuatan konten dengan video dan lagu dari tools generative artificial intelligence (AI generatif) kian marak. Konten YouTube lofi playlist dengan lagu buatan AI generatif atau konten cerita rakyat Instagram yang diperankan aktor AI, adalah sebagian kecil di antaranya.

Sejumlah platform AI generatif juga memungkinkan lagu dan video AI untuk dimonetisasi di YouTube dan media lainnya. Syaratnya, pengguna harus memperoleh hak cipta atau lisensinya dengan cara berlangganan jasa AI generatif ini, baik membayar biaya bulanan atau tahunan.

Sementara itu, sejumlah platform AI generatif bersangkutan masih dalam negosiasi dengan pemilik hak cipta untuk menyelesaikan gugatan hukum. Platform generator lagu Suno AI contohnya, tengah bernegosiasi dengan Universal Music Group, Warner Music Group, dan Sony Music Group.

Setelah mengajukan gugatan hukum pada Suno AI dan Udio 2024 lalu, para raksasa musik ini meminta kompensasi atas musik karya musisi mereka jika digunakan dalam melatih model AI generatif dan memproduksi lagu, sebagaimana dilaporkan Wall Street Journal. Langkah ini dinilai sebagai potensi pergeseran platform AI generatif dari pelaku eksploitasi karya seni menjadi mitra musisi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, platform AI generatif lainnya belum menyelesaikan masalah serupa. Tools OpenAI dan platform sejenis yang dapat mengubah foto jadi gambar khas karakter animasi Studio Ghibli contohnya, belum memperoleh izin dari studio animasi asal Jepang tersebut.

Sebelumnya, Co-Founder Studio Ghibli, Hayao Miyazaki pernah menyatakan penggunaan kecerdasan buatan dalam membuat animasi "sangat menjijikkan" dan "penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri", dilansir ABC.

ADVERTISEMENT

Hayao Miyazaki juga dikenal dengan pernyataannya yang menegaskan "tidak akan pernah ingin memasukkan teknologi ini (AI generatif) ke dalam (karyanya) sama sekali".

Lantas, bagaimana sebenarnya hukum memakai lagu AI dan video AI dalam membuat konten?

Apakah Boleh Pakai Lagu AI dan Video AI buat Bikin Konten?

Merespons tren konten AI, Guru Besar bidang Ilmu Filsafat Hukum Binus University Prof Dr Shidarta SH MHum mengatakan saat ini seakan ada semacam kekosongan hukum terkait penggunaan AI generatif. Jika aspek hukum penggunaan lagu atau video AI tidak cukup kuat, menurutnya para pengguna harus kembali pada etika penggunaan AI generatif.

Contohnya yakni dengan transparan mengakui lagu, video, atau gambar bersangkutan berasal dari hasil AI generatif dan menjabarkan sumber-sumber inspirasi pembuatannya.

"Ujung-ujungnya sekarang itu, kalaupun nggak cukup kuat aspek hukumnya, orang lari ke etika," kata Shidarta kepada detikEdu di sela Dies Natalis Binus University ke-44 di Binus @ Kemanggisan Kampus Anggrek, Jakarta Barat, Selasa (1/7/2025).

"Orang nggak mungkin full originalitas, tapi minimal dia ada transparansi untuk mengakui dia ngambilnya dari mana, terinspirasi dari mana, misalnya. Nah pengakuan-pengakuan seperti itu nanti diatur," imbuhnya.

Masyarakat sendiri menurutnya tidak lagi bisa mengandalkan definisi konvensional hak cipta. Di samping itu, definisi hak kekayaan intelektual menurut Shidarta pada dasarnya perlu diperluas agar dapat menjangkau soal penggunaan AI generatif ini lebih lanjut.

Saat ini, berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, hak kekayaan intelektual adalah hak untuk dapat menikmati hasil ekonomis suatu kreativitas intelektual.

"Bagaimanapun juga, etika itu paling tidak untuk sementara bisa mengisi kekosongan (hukum) itu," ucapnya.

Belajar Etika Pakai AI Generatif

Shidarta mengatakan, pengguna AI generatif pada dasarnya bisa punya intuisi sendiri untuk menyadari pantas atau tidak pantasnya sebuah gambar, lagu, atau video AI diproduksi, ditayangkan, atau dimonetisasi. Dalam konteks penggunaannya di bidang seni, bisa jadi lebih sensitif.

"Repotnya, tiap ilmu itu bisa beda-beda. Mungkin untuk seni itu kemungkinan lebih sensitif, kan terkait ke hak moral, dan sebagainya, hak performance, gitu. Tapi untuk area teknik, misalnya, bisa jadi beda. Untuk hukum, bisa jadi beda. Jadi ujung-ujungnya ternyata kita juga perlu menyikapi keunikan dari tiap-tiap studi juga dalam melihat suasana generatif AI sebagai alat bantu itu bagaimana, case by case. Memang unik sih, jadi kondisi sekarang agak kompleks," imbuhnya.

Di bangku kuliah, Shidarta menjelaskan, perguruan tinggi sudah bergerak menyusun semacam kode etik internal untuk membangun literasi AI mahasiswa dan menjaga aspek orisinalitas karya. Sebagai contoh, pada proyek kolaborasi dosen dan mahasiswa, AI generatif boleh dipakai selama tidak untuk hal-hal curang dan membuat orang tertipu.

"Kejujuran dia untuk mengakui itu (karyanya hasil AI generatif) menjadi penting. Nah itu yang menurut saya perlu semacam diliterasi supaya para mahasiswa kita tahu mana batas-batas toleransinya," ucapnya.

"Aturan di bidang HKI (Hak Kekayaan Intelektual) itu kalau kita larikan ke legal, ujung-ujungnya pasti ke situ (etika). Nah, tetapi kita tidak bisa lagi mengandalkan definisi yang konvensional dari hak cipta dan sebagainya. Sehingga, untuk sementara, menurut saya, masing-masing lembaga internal harus berupaya menyusun kode etik, terutama untuk lembaga pendidikan, yang mau-nggak mau memproduksi ilmu pengetahuan," imbuhnya.

Diskusi mahasiswa dan keterlibatan kampus menurutnya bisa mengasah etika penggunaan AI generatif, termasuk dalam kasus atau konteks tertentu. Langkah ini juga perlu untuk menghindarkan mahasiswa dari plagiarisme yang berisiko mencoreng nama prodi atau kampus.

"Ketika kasus terjadi, ada preseden kan. Nah, preseden itu kemudian menjadi pengayaan untuk mengatur (penggunaannya). Jangan nunggu aturan lengkap dulu, buat aja aturan general-nya," ucapnya.

Setiap Pihak Bertanggung Jawab

Jika konten AI menimbulkan masalah hukum, Shidarta mengatakan setiap pihak bertanggung jawab. Untuk itu, setiap individu maupun lembaga harus dapat menyaring konten sehingga dapat menghindari pelanggaran hak cipta dan HKI. Sementara itu, pengguna AI generatif juga perlu tahu aturan main tiap platform tempat ia menayangkan konten AI-nya.

Ia mencontohkan, YouTube punya filter untuk mengecek apakah konten tertentu melanggar hak cipta. Jika ya, maka suaranya akan dibisukan, cuan hasil penayangan lagu orang lain bisa dialihkan ke pemilik hak ciptanya, atau videonya di-take down sama sekali.

"Saya juga bisa mengatakan bahwa harusnya lembaga yang menayangkan karya saya juga perlu berbagi tanggung jawab juga. Nggak bisa dong dia melepas tangan sama sekali, gitu. Nah, di situ yang menurut saya harus clear. Ketika kita menggunakan satu platform sebagai media untuk menayangkan dan sebagainya, kita harus tahu juga aturan main di sana kayak gimana. Jangan-jangan, beda-beda aturan mainnya. Dan konsekuensi jika kita dituntut seperti apa. Nah itu kan bagian dari literasi digital," jelasnya.

"Menurut saya juga menjadi tugas dari kementerian terkait, lembaga terkait untuk membuat kita lebih literate. Jangan sampai akhirnya muncul korban dulu," imbuhnya.




(twu/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads