Konten hasil alat generative artificial intelligence (AI generatif) kini turut dipakai warganet di media sosial mulai dari gambar, lagu, hingga video. Sebagian dipakai untuk seru-seruan dan lucu-lucuan, sebagian lainnya untuk meraup cuan. Lantas, apakah UU AI perlu segera terbit?
Guru Besar bidang Ilmu Filsafat Hukum Binus University Prof Dr Shidarta SH MHum mengatakan cepatnya inovasi AI sudah melampaui kerangka regulasi nasional, regional, maupun internasional. Akibatnya terkesan ada kekosongan hukum terkait tanggung jawab hukum bagi pengembang dan pengguna AI. Sementara itu, literasi digital warga yang berinteraksi langsung dengan AI belum memadai.
Kendati demikian, Shidarta menjelaskan, setidaknya saat ini ada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Pelindungan Data Pribadi (PDP) yang berkaitan dengan AI generatif. Sementara belum ada UU AI, menurutnya, kesadaran dan literasi AI warga perlu ditingkatkan dulu lewat panduan yang sudah ada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contohnya seperti UNESCO Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence dan ASEAN Guide on AI Governance and Ethics-Generative AI Policy. Keduanya menurut Shidarta juga perlu dijadikan basis atau sumber materi pembentukan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan.
Setelah itu, perlu ada kampanye intensif agar warga punya kesadaran hukum tinggi atas pentingnya etika dan legal dalam menggunakan AI dengan aman serta selaras dengan hak asasi dan kepentingan publik.
Kemudian, peraturan pelaksanaan dari UU ITE dan UU PDP dipercepat agar pengembangan serta pemakaian AI generatif tetap sejalan dengan hak asasi dan kepentingan publik.
Shidarta menjelaskan, langkah-langkah di atas perlu dilaksanakan dulu agar warga nantinya warga bisa menggunakan AI generatif tanpa melanggar etika dan hukum positif seperti UU nantinya.
"Minimal itu membuat mereka jadi aware ya, bahwa ternyata ada lho hal-hal yang tidak bisa ditoleransi secara etik. Hak moral itu kan gak bisa dilanggar ya," ucapnya pada detikEdu di sela Dies Natalis Binus University ke-44 di Binus @ Kemanggisan Kampus Anggrek, Jakarta Barat, Selasa (1/7/2025).
Ia menggarisbawahi jika penggunaan AI generatif sudah termasuk peniruan identitas dan penipuan (deepfake); pelanggaran hak kekayaan intelektual; dan pelanggaran privasi, maka oknum bersangkutan dapat ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Sedangkan model AI generatif yang diduga telah berekses negatif dan dikeluhkan masyarakat luas harus dievaluasi.
Pertimbangan UU AI
Shidarta mengatakan, penyusunan UU AI sendiri sebelumnya perlu mempertimbangkan AI yang tengah berkembang pesat. Peraturan ketat setingkat UU menurutnya di sisi lain berisiko membatasi gerak dan kreativitas warga.
"Mau nggak mau, ethical guidance-nya harus dimajuin dulu. Nah kalau itu udah kuat, menurut saya, regulasi bisa ngikutin belakangan," ucapnya.
"Sementara (jika) kita udah terlanjur memperketat, the do's and the don't-nya, membuat orang menjadi tidak kreatif. Saya khawatirnya itu sih. Karena mengatur sesuatu yang sedang bergerak cepat itu berbahaya, berbahaya karena mengganggu kreativitas dan sebagainya," ucapnya.
Sementara belum ada UU AI, dalam konteks jika terjadi penyalahgunaan hak cipta saat membuat konten, Shidarta mengatakan orang-orang di bidang bersangkutan perlu menyuarakannya. Contohnya seperti karya musik yang digunakan untuk melatih model AI generatif untuk membuat lagu AI.
"Kalau lagu itu, saat penggunanya punya niat, itikad, buruk untuk mengubahnya dan mengakunya sebagai karya dia dari situ ketahuan, kok. Orang-orang yang bergerak di bidang itu tahu persis, 'Ini kayaknya udah nggak oke ini, itikadnya udah nggak baik', begitu," ucapnya.
(twu/nah)