Jelang Lebaran, tradisi ngejot di Pulau Bali kembali ramai dilakukan warga. Tradisi ini pada dasarnya berarti memberi.
Peneliti Sepma Pulthinka Nur Hanip dan rekan-rekan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam jurnal Potret Pemikiran menjelaskan ngejot punya makna filosofis mempererat dan memelihara. Tradisi ngejot berbentuk saling mengantar makanan (saling tanjak dalam bahasa Sasak) yang boleh dimakan oleh kedua penganut agama yang berbeda, seperti buah, jajanan, dan lainnya.
Tradisi ngejot berkembang di kalangan warga suku Sasak dan Bali. Suku Sasak banyak berkembang di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepma dan rekan-rekan menjelaskan, suku Sasak memiliki motto sosial "ndkn kanggo mesak mambu ime", yang artinya jika menyembelih hewan seperti kambing, sapi, dan lainnya, tidak boleh dinikmati secara pribadi, tetapi harus berbagi dengan tetangga.
Makanan yang diolah orang suku Bali disebut sumite. Makanan yang akan diberikan bagi warga muslim dan tidak diwarnai doa-doa dari Hinduisme disebut sukle.
Makanan-makanan dari suku Bali maupun Sasak ini tidak boleh diantarkan dengan diwakilkan dan tidak boleh mengandung yang diharamkan, seperti yang mengandung babi atau disembelih tidak sesuai syariat Islam. Karena itu, warga Bali yang biasanya tidak membuat telur opor atau telur rebus jadi membuatnya dan memberikannya pada saat ngejot.
Ngejot di Bali
Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus (UHN IGB) Sugriwa, I Gusti Ngurah Sudiana menuturkan, bagi warga muslim, ngejot juga bermakna menjalin silaturahmi kepada sesama. Interaksi warga Hindu-Islam ini dapat berupa mengantarkan makanan pada kerabat atau tetangga yang berbeda agama.
Tradisi ngejot, dijelaskan Sudiana, juga menjadi bentuk kerukunan yang sudah terbangun lama. Praktik ini lazim dilakukan dalam menyambut hari raya seperti Lebaran atau Idul Fitri maupun Galungan.
Berbagi kue dan buah-buahan dengan tetangga terdekat di setiap desa dan lingkungan menjadi praktik yang tumbuh dan dijaga dalam keberagaman.
"Tradisi ngejot ini biasa dilakukan masyarakat Bali. Memberi makanan kepada sesama. Ini menjadi bagian dari bentuk pertemanan, persaudaraan bagi sesama," kata Sudiana, dikutip dari laman Kementerian Agama.
Ngejot di Lombok
Tradisi ngejot juga tumbuh dan dilestarikan di Lombok. Salah satunya oleh warga Desa Mareje Timur, Dusun Tendaun. Warga biasanya melakukan ngejot satu hari sebelum hari raya.
Ngejot di Mareje Timur menjadi wujud persaudaraan umat Buddha dan Islam. Praktik saling memberi dan berbagi kebaikan ini dilakukan saat hari besar keagamaan, seperti Waisak dan Pattidana masal bagi umat Buddha dan Idul Fitri bagi umat Islam.
"Tradisi ngejot juga bisa sebagai sarana berbagi kepada sesama, karena bentuk praktiknya adalah membagikan makanan kepada tetangga yang berkeyakinan lain," kata tokoh agama Buddha Romo Darma pada peneliti Hemawati dari Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa, dipublikasi di jurnal Sabbhata Yatra: Jurnal Pariwisata dan Budaya.
"Selain itu, nilai-nilai Buddhis yang bisa diambil dari tradisi ngejot adalah nilai berbagi dan nilai persahabatan (kalyanamitta)," imbuhnya.
Ngejot saat Natal
Tak hanya saat hari raya umat muslim, Hindu, dan Buddha, ngejot juga dilakukan saat Natal tiba. Tradisi ngejot saat Natal salah satunya dipraktikkan warga Banjar Tangeb, Kabupaten Badung, Bali antara umat Hindu dan Katolik.
Ngejot saat Natal diwarnai dengan rakti berbagi jaje uli, buah, rengginang, dodol, dan makanan serta jajanan lainnya. Kendati nilai ekonominya bisa jadi relatif kecil, tetapi makna simboliknya besar, mulai dari menumbuhkan modal sosial di antara kerabat, tetangga, dan teman berbeda agama.
Peneliti I Nyoman Darsana dari SMAS Katolik, Thomas Aquino dan Ni Wayan Yusi Armini dari UHN IGB Sugriwa Denpasar menjelaskan, tradisi berbagi makanan ini merujuk pada konsep tali asih dalam Katolik dan Katwang Asih dalam ajaran agama Hindu.
Dikutip dari Sphatika: Jurnal Teologi, Darsana dan Yusi menambahkan warga Bali dalam relasi sosial juga menganut paham menyama braya, yaitu kekayaan utama dalam hidup, jalan untuk menggapai kebahagiaan dan keharmonisan hidup (dharma santhi), dan kearifan lokal untuk menjaga integrasi sosial, yang percaya bahwa manusia sedarah atau tidak, apapun etnis, golongan, agama, suku, dan budayanya adalah saudara.
(twu/faz)