Pernah dengar bahwa cahaya matahari bisa meningkatkan kebahagiaan? Atau sebaliknya, paparan cahaya pada malam hari bisa mengganggu tidur dan tubuh? Keduanya bukan hanya kalimat kosong belaka melainkan bukti sebuah penelitian.
Sebuah studi pada 2013 oleh peneliti dari Freie UniversitΓ€t Berlin, Jerman melaporkan bahwa orang-orang yang disurvei pada hari-hari yang sangat cerah (terdapat sinar matahari), merasa lebih puas dengan kehidupan, dibandingkan orang-orang yang disurvei pada hari-hari berawan. Hal ini berkaitan juga dengan efek positif terhadap otak saat tubuh mendapatkan paparan sinar matahari.
Kemudian studi pada Maret 2024 menyebutkan, bahwa paparan cahaya buatan pada malam hari seperti lampu, ternyata bisa berisiko mengganggu kesehatan. Menurut studi, 80 persen populasi di dunia hidup di lingkungan yang tercemar cahaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hal ini, cahaya diketahui berkaitan dengan suasana hati dan berdampak pada kesehatan mental. Berikut ini bukti studinya.
Paparan Cahaya Memengaruhi Suasana Hati
Peneliti kesehatan mental dari Brain and Mind Centre di Universitas Sydney, Jacob Crouse dan Emiliana Tonini, menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara paparan cahaya dan aktivitas otak yang dapat memengaruhi suasana hati.
Paparan sinar matahari dapat memengaruhi cara kerja neurotransmitter yang merupakan pembawa pesan kimia dalam otak.
Dalam konteks ini, serotonin atau yang dikenal sebagai "hormon kebahagiaan," terikat pada reseptor di otak akibat paparan cahaya. Pengikatan serotonin ini berkontribusi pada pelepasan hormon tersebut sehingga memberikan perbaikan suasana hati pada seseorang.
Pada gilirannya, perubahan yang terjadi dalam pengikatan serotonin ini juga berdampak pada kondisi kesehatan mental.
Paparan Cahaya Memengaruhi Kesehatan Mental
Salah satu pasien dengan gangguan mental, Alexis Hutcheon, menerangkan bahwa selama pergantian musim yang diiringi oleh perubahan paparan cahaya, ternyata memicu depresi dan episode hipomania dalam dirinya.
"Saya tidak tahu apakah saya sedang bahagia atau sedih, tetapi satu hal yang pasti adalah saya tidak bisa tidur selama pergantian musim," kata Hutcheon dalam Science Alert, dikutip Selasa (5/11/2024).
Menurut Crouse, kondisi tersebut bisa terjadi karena adanya fluktuasi kesehatan otak dan perubahan musim. Perubahan musim menyebabkan paparan matahari berkurang atau berlebihan, yang berdampak pada neurotransmitter di otak.
Pada musim dingin, kadar serotonin cenderung lebih rendah akibat berkurangnya paparan sinar matahari. Penurunan serotonin ini secara tidak langsung memengaruhi kondisi mental seseorang karena zat kimia tersebut berperan dalam meningkatkan suasana hati.
Lebih lanjut, obat antidepresan selama ini bekerja dengan cara meningkatkan kadar serotonin dalam otak. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki kondisi mental tertentu cenderung mengalami pengurangan serotonin akibat adanya pergantian musim, meskipun sudah mengonsumsi antidepresan.
Selain serotonin, dopamine sebagai zat kimia yang berperan dalam memberikan rasa motivasi, penghargaan, dan gerakan juga turut berubah seiring dengan perubahan musim.
Paparan Cahaya Malam
Sementara itu, selama pergantian musim, cahaya buatan muncul pada malam hari dan berdampak pada suasana hati dan kondisi mental seseorang. Hal ini disebabkan oleh ritme sirkadian atau kondisi biologis yang mengatur berbagai fungsi tubuh berdasarkan siklus siang dan malam.
Ketika tidak ada cahaya, tubuh akan secara otomatis beristirahat. Namun, munculnya cahaya buatan pada waktu yang tidak seharusnya akan membingungkan tubuh. Akibatnya, seseorang akan mengalami ketidakseimbangan siklus tidur.
Ketidakseimbangan siklus ini dapat memicu peningkatan gejala psikologis seperti perilaku menyakiti diri, gejala depresi hingga kecemasan. Selain itu, paparan cahaya malam juga dapat memengaruhi suasana hati, kognisi, nafsu makan, metabolisme dan masih banyak lagi.
Meskipun, kepekaan setiap orang terhadap cahaya berbeda-beda, peneliti menyarankan agar menghindari cahaya malam berlebihan dan mencari cahaya di siang hari. Hal ini untuk menjaga ritme sirkadian dan meminimalisir terjadinya gangguan suasana hati maupun resiko masalah kesehatan mental.
"Ini termasuk orang-orang dengan riwayat keluarga masalah kesehatan mental atau orang yang suka begadang (tidur larut dan bangun larut), yang lebih berisiko mengalami gangguan jam tubuh," tutur Crouse.
(faz/faz)