Cahaya Ternyata Memengaruhi Evolusi Manusia, Termasuk Kecenderungan Alami Miopi

ADVERTISEMENT

Cahaya Ternyata Memengaruhi Evolusi Manusia, Termasuk Kecenderungan Alami Miopi

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 01 Nov 2024 07:40 WIB
Concept about the modern life
ilustrasi evolusi manusia. Foto: Getty Images/altmodern
Jakarta -

Selama sebagian besar sejarah evolusi kita, aktivitas manusia telah dikaitkan dengan cahaya Matahari. Namun, Matahari tidak hanya berkaitan dengan aktivitas terjaga di siang hari dan tidur di malam hari. Ada banyak aspek lain dari biologi kita yang berkaitan dengan Matahari.

Cahaya diperkirakan mendorong nenek moyang kita untuk berjalan tegak dengan dua kaki. Cahaya membantu menjelaskan evolusi warna kulit kita, mengapa sebagian dari kita memiliki rambut keriting, dan bahkan ukuran mata kita.

Cahaya matahari membantu membentuk suasana hati kita, sistem kekebalan tubuh kita, cara kerja usus kita, dan banyak lagi. Cahaya dapat membuat kita sakit, memberi tahu kita mengapa kita sakit, lalu mengobati kita.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jutaan tahun sejarah evolusi menunjukkan manusia masih merupakan makhluk cahaya.

Benarkah Rambut Keriting dan Kulit Gelap Melindungi Kita dari Terik Matahari?

Manusia modern pertama berevolusi di iklim Afrika yang hangat. Mengurangi paparan sinar matahari yang terik adalah salah satu penjelasan mengapa manusia mulai berjalan tegak dengan dua kaki.

ADVERTISEMENT

Ketika kita berdiri dan Matahari tepat di atas kepala, sinar matahari yang mengenai tubuh kita jauh lebih sedikit.

Rambut keriting mungkin juga melindungi kita dari terik Matahari. Gagasannya adalah bahwa rambut keriting menyediakan lapisan isolasi yang lebih tebal daripada rambut lurus untuk melindungi kulit kepala.

Homo sapiens awal memiliki perlindungan Matahari ekstra dalam bentuk kulit yang sangat berpigmen. Sinar matahari memecah folat (vitamin B9), mempercepat penuaan dan merusak DNA.

Di iklim leluhur kita yang cerah, kulit gelap melindungi dari hal ini. Namun, kulit gelap itu masih menerima cukup sinar UV untuk merangsang produksi vital vitamin D, menurut tulisan Mike Lee Profesor Biologi Evolusi, Flinders University dalam The Conversation, yang dikutip Minggu (27/10/2024).

Namun, ketika orang-orang menjajah daerah beriklim sedang, dengan cahaya yang lebih lemah, mereka berulang kali mengembangkan kulit yang lebih terang, melalui gen yang berbeda dalam populasi yang berbeda. Hal ini terjadi dengan cepat, mungkin dalam 40.000 tahun terakhir.

Dengan berkurangnya radiasi UV di dekat kutub, lebih sedikit pigmentasi yang dibutuhkan untuk melindungi sinar matahari dari memecah folat kita. Kulit yang lebih cerah juga memungkinkan lebih banyak cahaya yang berjumlah sedikit dapat masuk, sehingga tubuh dapat memproduksi vitamin D.

Namun, ada satu kelemahan besar, yaitu lebih sedikit pigmentasi berarti lebih sedikit perlindungan terhadap kerusakan akibat sinar matahari.

Latar belakang evolusi ini berkontribusi pada Australia yang memiliki salah satu tingkat kanker kulit tertinggi di dunia.

Sejarah kolonial mencatat lebih dari 50% orang Australia adalah keturunan Anglo-Celtic, dengan kulit cerah, yang dipindahkan ke lingkungan dengan sinar UV tinggi.

Sinar matahari juga berkontribusi pada variasi mata manusia. Manusia dari garis lintang tinggi memiliki lebih sedikit pigmen pelindung di iris mereka. Mereka juga memiliki rongga mata yang lebih besar (dan mungkin bola mata), mungkin untuk menerima lebih banyak cahaya yang berharga.

Sekali lagi, ciri-ciri ini membuat orang Australia keturunan Eropa sangat rentan terhadap cahaya matahari yang tajam. Jadi tidak mengherankan Australia memiliki tingkat kanker mata yang luar biasa tinggi.

Sirkadian Sulit Diubah

Ritme sirkadian kita adalah bagian lain dari beban evolusi yang dipicu oleh cahaya.

Manusia beradaptasi dengan cahaya siang. Dalam cahaya terang, manusia dapat melihat dengan baik dan memiliki penglihatan warna yang tajam. Namun, penglihatan kita buruk dalam cahaya redup, dan kita tidak memiliki indra seperti pendengaran yang tajam atau penciuman yang tajam, untuk mengimbanginya.

Kerabat terdekat kita (simpanse, gorila, dan orangutan) juga aktif pada siang hari dan tidur pada malam hari. Ini memperkuat pandangan bahwa manusia paling awal memiliki perilaku diurnal yang serupa.

Gaya hidup tersebut kemungkinan besar sudah ada sejak sejarah evolusi kita, sebelum kera besar, hingga awal mula primata.

Mamalia paling awal umumnya aktif pada malam hari, menggunakan ukurannya yang kecil dan kondisi gelap untuk bersembunyi dari dinosaurus. Namun, dampak meteorit yang memusnahkan reptil yang menakutkan ini memungkinkan beberapa mamalia yang selamat, terutama primata, untuk mengembangkan gaya hidup diurnal.

Jika kita mewarisi pola aktivitas siang hari langsung dari primata awal ini, maka ritme ini akan menjadi bagian dari sejarah evolusi garis keturunan kita selama hampir 66 juta tahun. Hal itu menjelaskan mengapa ritme 24 jam kita sangat sulit diubah, begitu mengakar dalam sejarah evolusi kita.

Peningkatan teknologi pencahayaan yang terus-menerus memang telah membebaskan kita dari ketergantungan pada cahaya matahari, seperti api, lilin, lampu minyak dan gas, dan akhirnya penerangan listrik. Jadi, secara teoritis kita dapat bekerja dan bermain kapan saja.

Namun, kinerja kognitif dan fisik kita memburuk ketika siklus harian intrinsik kita terganggu, misalnya karena kurang tidur, kerja shift, atau jet lag.

Para futuris telah mempertimbangkan ritme sirkadian yang dibutuhkan untuk kehidupan di Mars. Untungnya, satu hari di Mars sekitar 24,7 jam, sangat mirip dengan hari-hari kita.

Cahaya Buatan Berdampak Miopi

Dalam 200 tahun terakhir, pencahayaan buatan telah membantu (sebagian) pemisahan dari ritme sirkadian leluhur kita. Namun dalam beberapa dekade terakhir, hal ini telah mengorbankan penglihatan kita.

Banyak gen yang terkait dengan rabun jauh (miopia) telah menjadi lebih umum hanya dalam 25 tahun.

Dan jika seseorang memiliki beberapa kecenderungan genetik terhadap miopia, berkurangnya paparan cahaya alami (dan menghabiskan lebih banyak waktu di bawah cahaya buatan) membuatnya lebih mungkin terjadi.

Cahaya tidak diragukan lagi akan terus membentuk biologi kita selama ribuan tahun mendatang, tetapi efek jangka panjangnya mungkin sulit diprediksi.




(nah/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads