Ilmuwan menggambarkan bahwa alam semesta berawal dari kondisi yang sangat gelap lalu muncul cahaya pertama. Lantas dari mana asal usul cahaya itu muncul?
Sebuah penelitian terbaru yang terbit di Nature pada Februari 2024 berhasil mengungkap asal usul cahaya pertama di luar angkasa tersebut. Menurut studi berjudul "Most of The Photons That Reionized The Universe Came From Dwarf Galaxies" oleh Hakim Atek dan kawan-kawan, diketahui bahwa galaksi kerdil ternyata berperan penting dalam pembentukan cahaya.
"Asal usul foton atau partikel cahaya yang pertama kali tersebar bebas di luar angkasa, berasal dari galaksi-galaksi kecil yang disebut sebagai "galaksi kerdil"," ucap astrofisikawan sekaligus peneliti dari Institut d'Astrophysique de Paris, Iryna Chemerynska, yang dikutip dari Science Alert.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Chemerynska, galaksi kerdil ini berperan dalam melepaskan cahaya yang membantu membersihkan kabut hidrogen yang memenuhi ruang angkasa pada awal pembentukan alam semesta. Kabut hidrogen ini tidak dapat ditembus cahaya pada awalnya.
"Galaksi kerdil menghasilkan foton pengion yang mengubah hidrogen netral menjadi plasma terionisasi selama proses reionisasi kosmik," terang Chemerynska.
"Penemuan ini mengungkap peran penting yang dimainkan oleh galaksi ultra-redup dalam evolusi awal alam semesta," tambahnya.
Proses Pembentukan Cahaya Pertama di Alam Semesta
Chemerynska menerangkan bahwa setelah terjadinya peristiwa Big Bang yang membentuk alam semesta, ruang angkasa saat itu dipenuhi oleh kabut plasma yang panas dan padat. Banyaknya partikel terionisasi berupa elektron bebas dan proton di ruang angkasa membuat cahaya tidak bisa menembus kabut tersebut.
Sekitar 300.000 tahun kemudian, ketika alam semesta mulai mendingin, proton dan elektron di ruang angkasa mulai bersatu dan membentuk gas hidrogen netral serta sedikit helium. Dari gas hidrogen dan helium ini, terbentuklah bintang-bintang pertama di dalam galaksi-galaksi kerdil.
Bintang-bintang pertama ini kemudian memancarkan radiasi yang membantu mengionisasi gas hidrogen, dan membersihkan kabut sehingga memungkinkan cahaya muncul dan menyebar di alam semesta.
"Sekitar 1 miliar tahun setelah Big Bang, akhir periode yang dikenal sebagai fajar kosmik, Alam Semesta sepenuhnya mengalami reionisasi. Ta-da! Lampu pun menyala," papar Chemerynska.
Bagaimana Cara Ilmuwan Meneliti Cahaya di Alam Semesta?
Dalam studinya, para peneliti menggunakan teleskop James Webb Space Telescope (JWST) untuk mengamati ruang angkasa. Melalui teleskop ini, mereka menemukan bahwa galaksi kerdil ternyata adalah salah satu kunci dalam reionisasi yang kemudian menyebabkan cahaya muncul.
"Meskipun ukurannya sangat kecil, galaksi-galaksi ini merupakan penghasil radiasi energik yang produktif, dan kelimpahannya selama periode ini begitu besar sehingga pengaruh kolektifnya dapat mengubah seluruh keadaan Alam Semesta," ujar astrofisikawan dan peneliti lain dari Institut d'Astrophysique de Paris, Hakim Atek.
"Pembangkit tenaga kosmik ini secara kolektif memancarkan lebih dari cukup energi untuk menyelesaikan pekerjaan," lanjutnya.
Peneliti berharap studi baru mereka bisa memberikan pengetahuan baru menyangkut sejarah evolusi awal di alam semesta.
"Kami kini telah memasuki wilayah yang belum dipetakan dengan JWST," tutur astrofisikawan Themiya Nanayakkara dari Swinburne University of Technology di Australia.
(faz/faz)