Ghosting, tindakan mengakhiri hubungan dengan mengabaikan upaya orang lain untuk berkomunikasi tanpa penjelasan, sering kali dipandang sebagai cara yang kasar dan tidak sensitif untuk memutuskan hubungan. Banyak yang pernah mengalami keheningan yang membingungkan dari seseorang yang sering berkomunikasi dengan mereka.
Dan hal ini menjadi lazim dalam beberapa tahun terakhir ketika interaksi sosial kita semakin bersifat digital. Ghosting biasa terjadi di semua jenis interaksi sosial, mulai dari kencan hingga wawancara kerja.
Jika kalian adalah pihak yang menerima ghosting, pengalaman tersebut terkadang bisa sangat mengerikan dan membuat bertanya-tanya. Penelitian baru dari New York University menunjukkan ghosting mungkin tidak semudah kelihatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Motif di Balik Perilaku Ghosting
Peneliti YeJin Park dan Nadav Klein telah mempelajari ghosting dalam lingkungan berbeda melalui delapan percobaan yang melibatkan ratusan orang.
Mereka berargumen para tukang ghosting mungkin sering memilih metode ini untuk menghindari rasa sakit langsung pada orang yang di-ghosting, meskipun niat ini sering kali tidak disadari. Studi ini menyoroti kesenjangan yang signifikan dalam memahami motif orang yang melakukan ghosting dan orang yang di-ghosting, sehingga menimbulkan banyak spekulasi dan kesusahan.
Park dan Klein melakukan serangkaian delapan penelitian untuk menyelidiki motivasi dan persepsi yang terlibat dalam ghosting. Temuan mereka mengungkapkan bahwa para korban ghosting umumnya meremehkan kepedulian si pelaku ghosting terhadap perasaan mereka. Sebaliknya, para tukang ghosting, menurut peneliti mungkin berusaha menghindari percakapan yang tidak nyaman atau menyakitkan, baik demi kepentingan mereka sendiri maupun demi mempertimbangkan perasaan orang yang di-ghosting.
"Studi ini menyoroti bagaimana motif prososial dapat mendorong perilaku penolakan dan peran akurasi interpersonal dalam mengurangi dampak negatif penolakan sosial," tulis para peneliti.
Dalam sebuah penelitian, peserta diberi peran sebagai ghoster (pelaku ghosting) atau ghostee (korban ghosting) dalam skenario-skenario hipotetis, misalnya merencanakan pertemuan yang fokusnya pada hobi bersama.
Dalam pengaturan pertemuan ini, para ghoster mengevaluasi motivasi mereka sebagai motivasi yang berorientasi pada diri sendiri, seperti menghindari ketidaknyamanan, atau berorientasi pada orang lain, seperti tidak ingin menyakiti perasaan ghostee. Sementara itu, para ghostee menilai seberapa besar mereka yakin ghoster peduli terhadap perasaan mereka.
Ketidakpercayaan Tetap Persisten di Mata Korban Ghosting
Temuan ini mendukung hipotesis para peneliti, yakni para ghostee secara konsisten memandang sebelah mata seberapa besar para ghoster peduli terhadap perasaan mereka, apa pun alasannya.
Bahkan ketika para ghoster memberikan alasan atas diamnya mereka setelah kejadian tersebut, para ghostee meragukan ketulusan mereka. Kesalahpahaman ini tetap ada bahkan ketika para ghoster menawarkan bantuan atau nasihat praktis. Sehingga ini mencerminkan ketidakpercayaan yang mendalam.
Dikutip dari ZME Science, para psikolog menekankan ghoster sering kali mengalami konflik emosional dan tekanan. Mereka mungkin menunda-nunda percakapan yang sulit atau kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Ketakutan akan reaksi negatif juga dapat berperan dalam keputusan mereka untuk melakukan ghosting.
Dengan kata lain, ghosting dapat menyusahkan baik bagi yang melakukannya maupun yang menjadi korban. Namun, penelitian ini tidak menilai siapa di antara keduanya yang mendapat dampak buruk. Memahami hasil penelitian ini dapat mengarahkan pada cara yang lebih penuh kasih untuk mengakhiri hubungan.
Menurut penelitian tahun 2023, 25% hingga 33% anak muda pernah mengalami ghosting. Dikarenakan ghosting adalah tren yang terus berkembang, para peneliti berharap penelitian seperti ini dapat membantu kedua pihak yang terlibat untuk menerima penolakan dengan lebih baik.
Temuan ini diterbitkan di Journal of Experimental Psychology: General.
(nah/nwk)