Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa negara di kawasan Asia tengah diterpa fenomena gelombang panas ekstrem. Gelombang panas ini menyebabkan kekeringan hingga kematian akibat heat stroke di Thailand.
Menanggapi hal ini, guru besar Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof Ir Eddy Setiadi Soedjono Dipl SE MSc Phd menyebutkan Thailand menjadi negara di Asia yang paling terdampak gelombang panas.
Mengutip arsip detikEdu, kondisi panas ini telah berlangsung sejak awal Januari 2024 dengan suhu mencapai 40,1 derajat Celcius. Mengerikannya lebih dari 50 orang telah dikabarkan meninggal dunia karena heat stroke.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun begitu, sosok yang akrab dipanggil Edot ini menjelaskan fenomena gelombang panas sebenarnya lumrah terjadi di sejumlah daerah dunia. Salah satu faktor pemicunya adalah perubahan iklim dunia gegara suhu permukaan Bumi meningkat.
"Emisi karbon dioksida, metana, dan gas rumah kaca lain menyebabkan panas matahari terperangkap di atmosfer," paparnya dikutip dari rilis di laman resmi ITS, Rabu (19/6/2024).
Thailand Negara Asia Tenggara Paling Terdampak Gelombang Panas
Tidak hanya Thailand, gelombang panas juga menyerang negara-negara Asia lainnya. Seperti Filipina, Vietnam, Myanmar, Kamboja, hingga Nepal.
Namun Edot mengatakan, Thailand menjadi salah satu negara Asia yang terdampak paling parah. Ada dua faktor yang menyebabkan hal ini.
1. Kondisi geografi
Kondisi geografis Thailand menjadi faktor penyebab mengapa negara ini paling terdampak. Daerah yang terletak di lintang rendah dekat khatulistiwa umumnya lebih rentan terhadap gelombang panas karena menerima sinar matahari langsung lebih banyak sepanjang tahun.
Bila dilihat, kondisi geografi Thailand berada dekat dengan garis lintang khatulistiwa. Selain itu, negara gajah putih ini kurang memiliki wilayah tutupan hutan.
2. Angin Monsun dan El Nino
Faktor kedua berkaitan dengan aktivitas angin monsun yang dapat menggerakan udara panas serta fenomena El Nino. El Nino ini akan membuat wilayah semakin kering karena curah hujan yang berkurang. Hal ini dipicu oleh pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya.
PBB melaporkan bahwa tahun lalu terjadi rekor tingkat tekanan panas di seluruh dunia. Badan cuaca dan iklim PBB mengatakan Asia, termasuk Thailand, mengalami pemanasan dengan sangat cepat.
"Siklus monsun juga menyebabkan angin bertiup dari barat ke timur membawa massa udara panas dan kering dari India ke Thailand," tambah Edot.
Indonesia Tidak Terdampak Gelombang Panas
Berbeda dengan Thailand, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan Indonesia tidak mengalami fenomena gelombang panas. Hal ini didukung oleh kondisi geografi negara maritim dan banyaknya pegunungan.
Selain itu curah hujan Indonesia dinilai lebih besar sehingga suhu terjaga di skala yang normal. Tidak hanya BMKG, Profesor Riset bidang Meteorologi, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan menilai Indonesia relatif aman dari bahaya gelombang panas karena awan.
Lagi-lagi hal ini berkaitan dengan kondisi geografi Indonesia sebagai negara maritim. Karena dua pertiga kawasan Indonesia adalah laut, awan hampir setiap hari terbentuk dan menghindari sinar Matahari memancar langsung ke daratan.
"Sinar Matahari ketika tiba di Bumi dihalangi oleh awan. Artinya, Matahari ada faktor penghalang itu. Maka kalau tidak ada faktor penghalang, artinya satu kawasan itu tidak dapat penghalang, artinya maka itu bebas, ya, tentu potensinya besar untuk mengalami heat wave atau gelombang panas," ujarnya dikutip dari arsip detikEdu.
Terkait El Nino, Indonesia sempat mengalami fenomena iklim ini pada musim kemarau pada tahun 2023 lalu. Akibatnya musim kemarau menjadi lebih ekstrem panas dan kering.
Namun pada tahun 2024, El Nino Southern Oscillation (ENSO) disebutkan berada pada fase El Nino lemah dan akan terus melemah hingga akhir tahun 2024. Keadaan ini membuat suhu udara di Indonesia bergerak stabil dengan anomali antara +0,23Β°C hingga +0,36Β°C.
Kenaikan rata-rata bisa meningkat sebesar 0,3Β°C sekitar bulan Maret-Agustus 2024. Dibanding El Nino, Indonesia diancam kehadiran La Nina namun kondisinya juga disebut lemah.
Edot berpesan, pengetahuan dan perhatian terhadap isu lingkungan masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan. Sehingga mereka memahami pentingnya perubahan iklim untuk masa depan.
Ia juga menekankan pemerintah harus tetap turun tangan. Diperlukannya peraturan atau undang-undang yang mampu membuat jera para perusak lingkungan, sehingga lingkungan tetap terjaga kelestariannya.
"Yang dibutuhkan dunia ini adalah tindakan bukan lagi sekadar teori saja," tutupnya.
(det/nwy)