Tugas seorang astronaut saat di luar angkasa memanglah tak mudah. Ada beberapa aktivitas yang terbatas dilakukan, contohnya beribadah.
Namun, saat ini beberapa astronaut yang khususnya seorang Muslim tak lagi khawatir melewatkan ritual ibadahnya. Melansir laman Harvard, sekitar 2% dari jumlah astronaut merupakan penganut agama Islam.
Pada awalnya, rekrutmen astronaut dilakukan terhadap laki-laki Kristen saja. Akan tetapi, seiring dengan terdiversifikasinya program luar angkasa, astronaut Muslim kini menjadi lebih umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cara Astronaut Salat di Luar Angkasa
Arah kiblat yang tak tentu di luar angkasa sempat menjadi hambatan para astronaut Muslim menjalankan ibadah salat. Ketika mengorbit Bumi dengan kecepatan 17.400 mil per jam, Mekkah bergerak cepat di bawah pesawat ruang angkasa.
Di luar angkasa, Matahari terbit dan terbenam setiap 90 menit saat mereka mengorbit Bumi. Hal itu tentunya sangat berbeda dengan waktu salat di Bumi yang dilakukan selama rentang waktu 24 jam.
Selain itu, kendala lainnya untuk sholat di luar angkasa adalah kurangnya gravitasi. Artinya, seorang astronaut tak bisa melakukan sujud.
Muslim pertama yang menghadapi tantangan ini di luar angkasa adalah Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud, seorang pilot pesawat tempur dan seorang pangeran Arab Saudi. Pada tahun 1985, ia menjadi Spesialis Muatan untuk misi STS-51G Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA).
Selama di luar angkasa, ia mengikat kakinya ke lantai pesawat ulang-alik untuk memungkinkan dirinya melakukan gerakan sujud dengan kemampuan terbaiknya.
Untuk membuat kejelasan hukum ibadah astronaut selama berada di luar angkasa, akhirnya sebanyak 150 ulama, ilmuwan, dan astronaut melakukan pertemuan untuk membuat fatwa bagi para astronaut Muslim.
Perundingan tersebut dilakukan saat Malaysia mengirimkan astronaut Muslim untuk melakukan misi pertamanya ke International Space Station (ISS). Ia adalah Sheikh Muszaphar Shukor, seorang dokter Muslim yang diluncurkan dengan pesawat Soyuz TMA-11 Rusia.
Shukor mengatakan, meskipun prioritas utamanya adalah melakukan eksperimen, dia khawatir tentang mempertahankan praktik Islamnya di luar angkasa. Para ulama akhirnya menghasilkan fatwa atas keresahannya tersebut.
Mereka mengeluarkan ketentuan bahwa untuk melaksanakan salat, umat Islam di luar angkasa harus menghadap Mekkah, tetapi jika tidak mereka dapat menghadap Bumi secara umum, atau hanya menghadap "di mana pun".
Lalu, dalam menentukan kapan waktu yang tepat untuk salat, para ulama memutuskan umat Islam di luar angkasa bisa mengikuti zona waktu tempat mereka meninggalkan Bumi.
Astronaut Bisa Mengganti Puasa di Lain Hari
Terkait ibadah puasa, para ulama mengatakan para astronaut boleh melakukan puasa selama di ISS. Namun, jika tidak memungkinkan maka bisa menggantinya atau meng-qada saat mereka sudah pulang ke Bumi.
Selain itu, waktu berpuasa di luar angkasa bisa disesuaikan dengan zona waktu lokasi keberangkatan astronaut. Misalnya pada misi Shukor, ia berangkat dari Kazakhstan sehingga ia mengikuti waktu puasa yang berlaku di zona Asia Tengah.
Adapun astronaut Muslim lainnya yakni Sultan Al Neyadi dari Uni Emirat Arab (UEA) mengklaim dirinya tak wajib menjalankan puasa karena termasuk musafir. Saat itu, ia menghabiskan waktu selama enam bulan di ISS bersama Stephen Bowen dan Warren Hoburg, dan Rusia Andrey Fedyaev.
(cyu/nwy)