Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan mengenai ancaman amblesan tanah atau land subsidence di Pantai Utara Jawa atau yang dikenal dengan Jalur Pantura. Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Dwi Sarah.
Fenomena amblesan tanah adalah penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pergerakan material di bawah permukaan. Fenomena ini seringkali berlangsung secara perlahan, sulit terdeteksi, namun memiliki dampak yang signifikan. Fenomena ini menjadikannya sebagai bahaya yang tersembunyi atau silent hazard.
"Nah, proses penurunan tanah ini berjalan sangat lambat dalam order mungkin milimeter hingga sentimeter per tahun sehingga sulit dikenali di lapangan. Namun dampaknya terasa nyata sehingga kita menyebutnya land subsidence sebagai silent hazard," ungkap Sarah dalam laman BRIN dikutip Kamis (11/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan penelitian, lebih dari 200 lokasi di 34 negara khususnya di daerah pesisir, mengalami amblesan tanah. Penyebabnya dapat berasal dari faktor alami seperti tektonik, kompaksi alami endapan yang masih muda dan faktor antropogenik seperti eksploitasi air tanah berlebihan.
Mana Saja Daerah yang Rawan Amblesan Tanah?
Daerah rawan amblesan tanah, ungkap Sarah, meliputi Pantai Utara Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Endapan-endapan seperti endapan aluvial, endapan danau, gambut, dan tanah organik yang masih muda menjadi kriteria khusus wilayah rawan terhadap fenomena ini.
Amblesan tanah tidak hanya terjadi di Pantura, namun potensi serupa mungkin juga mengancam daerah lain di Indonesia di masa mendatang. Pantura Jawa, secara geologi, terdiri dari endapan aluvial berumur muda hingga kuarter, yang meliputi wilayah dari Jakarta hingga Surabaya.
"Jadi rawan amblesan tanah itu bukan hanya di Pantura, tapi mungkin nanti ke depannya kita bisa mengantisipasi juga ada permasalahan yang sama di daerah-daerah lain di Indonesia. Geologi Pantura Jawa secara geologi, Pantura Jawa tersusun oleh endapan aluvial berumur muda, berumur kuarter yang tersebar dari Jakarta, Indramayu, Semarang, Demak hingga ke Surabaya," katanya.
Amblesan Tanah Terjadi Sejak 1970-an
Amblesan tanah di Pantura Jawa telah terjadi sejak beberapa dekade lalu. Menurut Sarah, fenomena ini dimulai dari tahun 1970-an di Jakarta, 1980-an di Semarang, dan 1985 di Pekalongan. Proses ini telah berlangsung cukup lama dan masih terus berlanjut hingga saat ini.
Pemantauan Global Navigation Satellite System (GNSS) menunjukkan adanya hotspot titik-titik di kota-kota Pantura yang rawan terhadap amblesan seperti Jakarta, Bekasi, Cirebon, Pekalongan, Kendal, Surabaya, Sidoarjo. Sedangkan berdasarkan pemantauan dengan metode Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) pada tahun 2007 hingga 2009 terlihat amblesan tanah di Jakarta cukup tinggi antara 5 hingga 15 cm per tahun.
"Sementara di daerah Bekasi laju subsidence-nya meningkat hingga mencapai 2 hingga 5 cm per tahun," sebutnya.
(nir/nwy)