Indonesia dikenal oleh dunia dengan beragam hewan endemik yang memiliki ciri khas unik. Salah satu hewan endemik tersebut adalah burung maleo dari pulau Sulawesi. Namun sayangnya, burung maleo kini terancam punah.
Burung maleo merupakan burung berukuran sedang dengan tinggi kurang dari 60 sentimeter. Ia memiliki kepala kecil dan mencolok dengan tonjolan tulang seperti helm di tengkoraknya.
Kelompok jantan pada burung maleo dapat dikenali melalui kenop di pangkal paruh atasnya. Uniknya, burung-burung ini dapat terbang sejak kecil segera setelah menetas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas keunikan dan ciri khasnya, tak heran jika burung maleo menjadi simbol keanekaragaman hayati di Indonesia. Bahkan dalam KTT ASEAN 2023, Indonesia menjadikan burung maleo sebagai logo ASEAN tahun ini.
Sulawesi Jadi Wilayah Pendukung IKN, Habitat Maleo Terancam
Keberadaan burung Maleo di pulau Sulawesi menjadi semakin terancam. Terlebih, Sulawesi Barat telah ditetapkan sebagai "wilayah pendukung" bagi Ibu Kota Negara (IKN) baru karena wilayahnya yang tak jauh dari Kalimantan.
Diketahui, pemerintah daerah tersebut telah membangun jalan dan berencana membangun lebih banyak pelabuhan untuk mengangkut bahan bangunan guna mengembangkan ibu kota baru di Kalimantan.
"Maleo sangat terancam punah karena langkah selanjutnya adalah kepunahan," kata ahli biologi Marcy Summers, direktur Alliance for Tompotika Conservation, sebuah LSM yang bekerja pada konservasi maleo di provinsi Sulawesi Tengah, dikutip dari AP News.
"Dan alasan mengapa hewan ini terancam punah adalah... karena masalah pengambilan telur dan perusakan habitat mereka," imbuhnya.
Manusia yang Mengancam Kepunahan Maleo
Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN, menunjukkan bahwa burung maleo merupakan spesies yang terancam punah dengan jumlah total yang tersisa hanya 8.000 hingga 14.000 ekor saja.
Menurut Summers, populasi maleo telah menurun lebih dari 80 persen sejak tahun 1980. Tidak ada angka pasti berapa jumlah maleo yang tersisa di Kabupaten Mamuju maupun di wilayah Sulawesi Barat.
Dinas Kehutanan Sulawesi Barat baru mampu mendata tempat bersarang maleo di 23 desa berdasarkan laporan warga. Namun, hanya 18 yang dianggap sebagai tempat bersarang aktif.
Di Kabupaten Mamuju, kawasan hutan pegunungan tempat tinggal maleo biasanya terletak sekitar 15 kilometer dari pusat kota. Akan tetapi, pembangunan pada wilayah tersebut menyebabkan kekhawatiran akan kepunahan maleo.
Dengan berkurangnya habitat dan tempat bersarang yang terancam oleh aktivitas manusia, perjalanan sepasang maleo untuk bertelur menjadi semakin berbahaya dan tidak menentu.
"Setahu saya burung maleo jumlahnya menurun. Ini akibat erosi pantai, kemudian juga terjadi alih fungsi lahan oleh warga atau korporasi sehingga habitat burung maleo mulai bergeser dan punah," kata Andi Aco Takdir, Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Barat.
Takdir menilai pemerintah perlu mengimbau masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk menghentikan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit atau destinasi wisata di sekitar lokasi sarang maleo.
Dengan demikian, pemerintah Indonesia perlu menekankan komitmennya untuk menjaga entitas hewan endemik di tengah pembangunan besar untuk ibu kota baru.
Perburuan Liar Telur Burung Maleo
Mirisnya, tak hanya habitat yang dirusak oleh manusia. Namun, telur burung maleo juga kerap diburu untuk dijual.
Lokasi sarang maleo biasanya terletak kurang dari 1 kilometer dari hutan. Meskipun dekat dengan pantai, tapi tempat bertelur mereka dipisahkan oleh jalan aspal.
Hal ini memberi tantangan tersendiri bagi maleo saat ingin kembali ke sarang mereka karena harus melewati kebisingan suara kendaraan.
Ketika burung-burung tersebut berhasil bertelur di pasir, lalu mereka tinggal untuk dihangatkan oleh sinar Matahari, para pemburu memanfaatkan peluang waktu tersebut untuk mencuri telur.
Para pemburu dapat menjual telur tersebut dengan harga Rp15.000. Telur tersebut dianggap makanan lezat layaknya kaviar, sehingga tak jarang masyarakat menjadikan telur tersebut sebagai oleh-oleh.
Padahal, pengambilan telur maleo merupakan tindakan ilegal yang dilindungi undang-undang Indonesia.
Ancaman hukuman UU tersebut adalah lima tahun penjara dan denda 100 juta rupiah bagi siapa saja yang mengambil, merusak, memusnahkan, memperdagangkan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena belum ada yang menerima hukuman tersebut, sementara perburuan telur masih ada.
Para pegiat konservasi mengatakan pelindungan burung maleo memerlukan langkah politik dari pemerintah dan masyarakat.
"Masih mungkin untuk memulihkan dan melindungi kawasan maleo di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Karena ini satu-satunya tempat tersisa di pantai barat Sulawesi untuk kehidupan maleo," kata Summers.
(faz/faz)