Ilmuwan Sebut Hutan Berpotensi Serap Karbon dengan Berlimpah, Tapi...

ADVERTISEMENT

Ilmuwan Sebut Hutan Berpotensi Serap Karbon dengan Berlimpah, Tapi...

Noor Faaizah - detikEdu
Rabu, 22 Nov 2023 13:00 WIB
Foto udara kawasan hutan lindung Jayagiri di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (16/62023). Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat, Indonesia menjadi negara kedelapan yang memiliki hutan terluas di dunia dengan luas mencapai 92 juta ha yang diharapkan mampu menyerap emisi karbon dari persoalan iklim secara global. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.
Ilustrasi hutan Foto: Antara Foto/Raisan Al Farisi
Jakarta -

Hutan merupakan penyerap karbon terbesar di Bumi. Aneka ragam tanaman yang tumbuh di hutan berperan besar dalam mengurangi emisi karbon.

Namun, peradaban manusia telah mempengaruhi sistem penyerapan emisi karbon ini. Pengalihfungsian hutan menjadi lahan kehidupan manusia dan perubahan iklim telah mengurangi skala sistem ini.

Sebuah studi yang baru terbit di jurnal Nature pada 13 November 2023, memperkirakan bahwa hutan mampu menyerap sekitar 226 Gigaton (Gt) karbon jika kita melakukan upaya pemulihan dan pengurangan emisi gas rumah kaca.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Studi yang melibatkan ratusan ilmuwan di seluruh dunia, dipimpin oleh Crowther Lab dari ETH Zurich, Swiss menyoroti pentingnya restorasi global yang mencakup konservasi aneka ragam hayati hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.

Penelitian tersebut menggabungkan beberapa pendekatan yang bersumber dari darat dan data satelit. Tujuannya untuk mengevaluasi skala potensi karbon hutan global di luar lahan pertanian dan perkotaan.

ADVERTISEMENT

Para peneliti menekankan bahwa potensi ini dapat dicapai dengan memberi insentif pada upaya berbasis masyarakat guna mencapai target iklim dan promosi keanekaragaman hayati internasional.

Keragaman Hayati Menyimpan Potensi Besar Untuk Kurangi Karbon

Sebagian besar lahan yang mulanya hutan kini dimanfaatkan menjadi lahan perkotaan dan pertanian. Hal ini mengakibatkan deforestasi yang berdampak pada penurunan ragam hayati dan sistem penyerapan karbon.

Diketahui, jumlah total karbon yang tersimpan di hutan berada 328 Gt di bawah kondisi alaminya. Di luar wilayah yang digunakan untuk lahan kehidupan manusia, hutan mampu menyerap sekitar 226 Gt karbon di wilayah rendah jejak manusia.

Sekitar 61 persen (137,8 Gt karbon) dari potensi penyerapan tersebut dapat dicapai dengan melindungi hutan yang ada agar dapat pulih hingga dewasa.

Sisanya, sebesar 39 persen (88,2 Gt karbon) dapat dicapai dengan menggabungkan lanskap hutan yang terfragmentasi karena telah ditebang, melalui pengelolaan dan restorasi ekosistem berkelanjutan.

Lidong Mo, pemimpin studi dari Institute of Integrative Biology, ETH Zurich mengatakan bahwa sebagian besar hutan di dunia telah mengalami degradasi parah. Hal ini terbukti masih banyak orang yang belum pernah mengunjungi satupun hutan tua alami yang tersisa di Bumi.

"Untuk memulihkan keanekaragaman hayati global, mengakhiri deforestasi harus menjadi prioritas utama," ujar Lidong Mo dikutip dari laman ETH Zurich.

Hal tersebut mengungkapkan bahwa keanekaragaman hayati menyumbang sekitar setengah dari produktivitas hutan global.

Oleh karena itu, para peneliti menyoroti upaya restorasi yang mencakup keanekaragaman spesies alami tujuannya untuk meningkatkan potensi penangkapan karbon.

Perlu Restorasi Ragam Hayati dan Upaya Pengurangan Emisi Karbon

Peneliti menekankan perlunya restorasi sebagai upaya sosial meliputi tindakan konservasi, regenerasi alami, pembangunan kembali, silvikultur, hingga agroforestri. Restorasi juga mencakup berbagai jenis upaya berbasis masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati.

"Kita perlu mendefinisikan kembali arti restorasi bagi banyak orang," kata Thomas Crowther, penulis senior studi dan profesor di ETH Zurich.

Menurut Crowther, restorasi bukan berarti penanaman pohon massal untuk mengimbangi emisi karbon. Restorasi hutan bertanggung jawab secara ekologis global, juga mencakup konversi ekosistem lain yang secara alami tidak memiliki hutan.

"Restorasi global bukan hanya soal pepohonan. Kita harus melindungi keanekaragaman hayati alami di seluruh ekosistem termasuk padang rumput, lahan gambut, dan lahan basah yang sama pentingnya bagi kehidupan di Bumi," kata Constantin Zohner, peneliti senior di ETH Zurich.

Meskipun studi tersebut menyoroti pentingnya hutan alami dan restorasi ragam hayati agar dapat berkontribusi terhadap 30 persen potensi penyerapan karbon. Namun, para peneliti juga mencatat bahwa upaya tersebut perlu diiringi dengan pengurangan emisi karbon.

"Ketakutan terbesar saya adalah perusahaan menyalahgunakan informasi ini sebagai alasan untuk menghindari pengurangan emisi bahan bakar fosil," kata Crowther.

Semakin banyak emisi yang dikeluarkan oleh manusia, maka semakin besar ancaman alam seperti perubahan iklim, kekeringan, kebakaran, dan pemanasan global yang justru mengancam produktivitas hutan.

"Tidak ada pilihan antara mengurangi emisi dan melindungi alam karena kita sangat membutuhkan keduanya. Kita memerlukan alam untuk iklim, dan kita memerlukan aksi iklim untuk alam," pungkas Crowther.




(pal/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads