Data dari University of Maryland dan studi gabungan menemukan bahwa pertambangan semakin meluas ke hutan di seluruh dunia. Sejak 2001 hingga 2020, dunia telah kehilangan 1,4 juta hektar pohon akibat aktivitas tambang. Negara mana yang paling banyak kehilangan hutan?
Mengutip World Research Institute (WRI), dari 1,4 juta hektare hilangnya tutupan pohon akibat pertambangan sejak 2001 hingga 2020, seluas 450 ribu hektare berada di hutan hujan tropis primer. Kemudian 150 ribu hektare berada di kawasan lindung dan 260 ribu hektare di tanah miliki masyarakat adat dan lokal.
WRI mencatat, hilangnya hutan tropis primer akibat tambang sangat memprihatinkan. Hal ini karena hutan hujan tropis primer merupakan salah satu daerah dengan kekayaan karbon dan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hutan hujan tropis primer juga membantu mengatur dampak iklim lokal dan regional seperti curah hujan dan suhu," catat WRI dalam laman resminya, dikutip Rabu (11/6/2025).
Dalam kurun waktu hampir 20 tahun tersebut, hilangnya tutupan pohon terkonsentrasi hanya di beberapa negara. Ini artinya, beberapa negara ada yang paling banyak kehilangan hutan akibat pertambangan. Berikut daftarnya.
10 Negara yang Paling Banyak Kehilangan Hutan Akibat Pertambangan Menurut WRI (2001-2020)
1. Indonesia - 369.356 hektare
2. Brasil - 167.543 hektare
3. Russia - 132.709
4. Amerika Serikat - 120.730
5. Kanada - 117.790
6. Peru - 69.186
7. Ghana - 59.595
8. Suriname - 56.351
9. Myanmar - 52.454
10. Australia - 44.777
Dampak Hilangnya Tutupan Hutan Akibat Pertambangan
Studi World Wildlife Fund (WWF), menemukan, 57 persen hilangnya tutupan pohon terkait ekstraksi batubara dari 2000-2019, terjadi di Indonesia saja. Pertambangan di Indonesia, disebut WWF telah berdampak buruk pada masyarakat dan lanskap.
Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat pada tahun yang sama. Di sana, 20 persen hilangnya tutupan pohon terjadi akibat tambang batubara.
Selain merusak ekosistem dan memperparah bencana seperti banjir dan tanah longsor, hilangnya tutupan hutan sangat merugikan bagi masyarakat adat dan lokal.
Menurut WRI, masyarakat sering kali dikecualikan dari keputusan untuk memberikan izin dan tidak diberi kompensasi yang memadai atas hilangnya hutan, air, dan sumber daya alam lainnya yang menjadi sandaran mereka.
Laporan Earth.org, yang dikutip Rabu (11/6), menyebutkan bahwa operasi pertambangan telah menyebabkan pencemaran lingkungan. Kebocoran dari aktivitas tambang sering menyebabkan air menjadi tercemar oleh zat-zat berbahaya, seperti sianida, merkuri, atau arsenik.
Di sisi lain, dampak operasi penambangan terhadap lahan di sekitarnya juga terkait erat dengan kondisi ekologi lokasi penambangan. Misalnya, penggundulan hutan primer akibat penambangan bijih besi di hutan hujan tropis Gabon, yang meninggalkan kerusakan ekologi besar dan berjangka panjang dibandingkan dengan penambangan bijih besi di padang pasir Australia utara.
Perusakan vegetasi dan tanah saat lahan dibuka untuk pertambangan juga mengakibatkan pelepasan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.
WRI berharap, setiap wilayah bisa mengurangi hilangnya hutan akibat pertambangan sambil melindungi hak dan manfaat ekonomi masyarakat rentan. Sebab, undang-undang saat ini sering kali memberikan perlindungan yang buruk bagi masyarakat adat dan mata pencaharian mereka.
Kemudian, pemerintah juga perlu mengakui hak atas tanah dan sumber daya bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal.
"Para pemangku kepentingan harus memiliki akses ke peringatan deforestasi yang hampir real-time, yang memungkinkan penegakan hukum di lapangan yang tepat waktu," tulis WRI.
(faz/pal)