Penelitian mengenai tornado ini dilakukan oleh Tanamachi, seorang ahli meteorologi di Universitas Purdue, West Lafayette, Indiana, AS sebagaimana dilansir dari Smithsonian. Penelitiannya bermula dari rasa takjubnya terhadap peristiwa angin puting beliung yang terjadi pada tahun 1986 di Taman Brooklyn.
"Kami melihat semua struktur pusaran interior yang sangat indah. Saya benar-benar terpikat pada hal itu dan saya yakin saya bukan satu-satunya orang," tuturnya dilansir dari laman Smithsonian.
Baca juga: Kenapa Tornado Berbentuk seperti Corong? |
Saat ini Tanamachi menyelidiki misteri angin puting beliung mengenai detail pembentukannya dan dapat mendukung perkiraan cuaca. Mengenai terjadinya badai, hal tersebut memunculkan pertanyaan dari para ilmuwan dengan pertanyaan:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Mengapa beberapa badai membentuk tornado, sementara yang lainnya tidak?
2. Bagaimana tepatnya tornado terbentuk hingga berputar-putar?
Untuk mendapatkan jawabannya, para ilmuwan melakukan percobaan dengan menerbangkan drone ke dalam badai dan memanfaatkan ilmu komputasi untuk menganalisisnya.
"Kami melakukan simulasi atmosfer dengan resolusi spasial yang belum pernah terjadi. Kami mengamati badai dengan resolusi temporal dan spasial yang belum pernah ada sebelumnya," kata Howie Bluestein dari Universitas Oklahoma di Norman.
"Tetapi masih banyak masalah dan banyak hal yang perlu diselesaikan," imbuhnya.
Para ilmuwan mendapatkan petunjuk baru mengenai apa yang terjadi di atmosfer dan di tanah. Mereka membandingkan apa yang ditemukan di lapangan dengan model badai petir baru dengan resolusi lebih tinggi.
Penelitian Tornado
Para ilmuwan mempelajari tornado pada abad ke-20, diketahui bahwa tornado yang paling besar dan merusak disebabkan oleh badai petir supercell. Supercell merupakan badai petir dengan awan yang sangat tinggi dan lebar yang menjadi landasan di atas tornado.
Supercell dicirikan dengan adanya aliran udara ke atas yang berputar satu mil (1,6 km) ke atas selama berjam-jam dan disebut sebagai mesocyclone. Rotasi tersebut disebabkan oleh pergeseran angin yang membuat angin lebih dekat ke tanah dan berputar secara horizontal. Angin kemudian menjadi ke atas dan membentuk vertikal seperti gasing yang terus berputar.
Hal yang bisa dilakukan untuk merubah supercell menjadi tornado adalah dengan mesocyclone raksasa yang membuat udara berputar lebih dekat ke tanah, maka pusarannya perlu diregangkan ke atas untuk mempercepat putaran. Hal ini mirip dengan yang terjadi ketika pemain ice skating menarik lengannya saat berputar.
Petunjuk mengenai tornado ini berasal dari informasi dan laporan kerusakannya ketika para ilmuwan sedang mencari tahu jenis tornado yang mampu meniup gudang, seperti yang dikatakan Richard Rotunno, ilmuwan di Pusat Penelitian Atmosfer Nasional Amerika Serikat dalam artikel The Fluid Dynamics of Tornadoes tahun 2013.
Para ilmuwan menggunakan radar Doppler meteorologi untuk memancarkan gelombang energi dan mendeteksi sinyal yang dipantulkan. Teknologi itu menangkap informasi tentang angin dan curah hujan serta mendeteksi mesocyclone. Namun radar tersebut tidak sepenuhnya dapat menangkap semua petunjuk. Sehingga para ilmuwan beralih ke model yang bisa melakukan simulasi badai secara fisika.
"Dalam simulasi komputer, kita memiliki semua petunjuk itu," kata Paul Markowski, ilmuwan atmosfer dari Penn State University.
Model simulasi tersebut diciptakan pada tahun 1970-an untuk mempelajari struktur arus dan curah hujan. Kini, simulasi digunakan untuk mengungkapkan aliran udara yang berputar menjadi mesocyclone dalam supercell.
Model itu juga menunjukkan bagaimana badai petir di belahan Bumi utara terbagi menjadi sel kiri dan kanan, dengan sel kanan yang dapat mengakibatkan cuaca buruk. Model ini mengamati supercell dan memberi petunjuk mengenai area dengan udara lebih dingin yang berperan dalam pembentukan tornado dengan memperpendek waktu untuk berkembang menjadi puting beliung, sebagaimana dituliskan dalam jurnal Ametsoc.
Simulasi ini mampu menangkap banyak detail tentang supercell dengan komputasi. Para peneliti juga berupaya menangkap secara realistis efek hujan, salju, dan hujan es, meski resolusinya masih terlalu besar.
Pada tahun 1994 penelitian tornado dilakukan dengan menggunakan balon cuaca yang dilengkapi sensor, mobil dengan pengukur suhu, tekanan, dan angin dalam supercell. Kemudian pada 2009 para ilmuwan mulai menggunakan Verification of the Origins of Rotation in Tornadoes Experiment 2 (VORTEX 2) alias Asal Usul Rotasi pada Eksperimen Tornado 2.
"Hal penting yang kami peroleh dari VORTEX 2 adalah tidak dapat mengetahui apakah badai menjadi tornado atau tidak melalui tampilannya di radar atau balon cuaca," kata Tanamachi.
Namun para ilmuwan masih belum mendapat jawaban mengapa badai supercell menghasilkan tornado, sementara yang lain tidak.
Menggunakan Drone
Kemungkinan pusat tornado bukan jawaban dari percobaan tersebut. Sehingga para ilmuwan kini menggunakan alat baru untuk menyaring supercell, yaitu dengan drone ke dalam badai.
"Memasukkan sesuatu ke dalam tornado akan menarik, namun sebenarnya tidak memberi banyak hal informasi. Hal ini memberitahu kita bahwa di sana (tornado) tempatnya berangin dan bertekanan rendah," kata Markowski.
Sementara ditambahkan Rotuno, bahwa masih ada kekosongan data terperinci mengenai struktur atmosfer, seperti suhu, tekanan, dan angin itu di bawah dasar awan. Drone dapat mengukur ketinggian secara detail dan melintasi batas area badai dengan kepadatan udara berbeda.
"Alasan kami menganggapnya penting adalah karena tornado cenderung terbentuk di perbatasan ini," jelas Adam Houston, ilmuwan atmosfer dari Universitas Nebraska-Lincoln.
Houston melengkapi drone dengan radar sebagai bagian proyek TORUS (Targeted Observations by Radars and UAS of Supercells) tahun 2009. Dari informasi yang dikumpulkan, bahwa angin terkuat yang sangat dekat dengan permukaan tanah menjadi awal mula terbentuknya tornado. Bagaimana udara berinteraksi dengan permukaan tanah, fitur seperti perbukitan dan hutan-mungkin berperan dalam memulai dan mengintensifkan angin puting beliung.
Tim ilmuwan Jana Houser dari Ohio State University mengukur badai dengan radar mengenai intensitasnya dari waktu ke waktu. Kemudian mencari hubungan antara data tersebut dengan topografi serta kekasaran permukaan tanah. Kelemahan penggunaan radar ini, radar cenderung meleset setidaknya seratus kaki pertama (0,3 meter) tepat di atas tanah karena geometri pancarannya.
Tim Houser dari metode penggunaan radar ini menemukan bahwa, dalam banyak kasus, perubahan medan memengaruhi udara yang tersedot ke dalam tornado dan mengubah kekuatan angin puting beliung. Ini mungkin merupakan petunjuk penting, namun terbukti sulit untuk dipecahkan.
"Masalahnya, terkadang jenis kejadian yang sama dalam satu kasus mengakibatkan intensifikasi, dan kemudian dalam kasus berikutnya, hal ini mengakibatkan pelemahan," tutur Houser mengenai celah data ini.
Ditambahkan Markowski, gangguan yang sangat kecil pun dapat mempengaruhi pembentukan tornado. Ia menggunakannya untuk membantu memprediksi badai selanjutnya.
Mencari Mekanisme Rotasi pada Tornado
Pertanyaan besar lainnya juga muncul mengenai terjadinya rotasi pada angin yang menjadi tornado. Putaran udara dalam mesocyclone supercell diketahui terlalu tinggi saat menjadi vertikal, sehingga badai membutuhkan rotasi tambahan lebih dekat ke tanah untuk menjadi tornado.
"Kami benar-benar tidak memahami dari mana asal mula rotasi yang menyebabkan terjadinya tornado," kata Houser.
Salah satu hipotesis mengenai asal mula rotasi tersebut didasarkan pada bagaimana gesekan memperlambat pergerakan udara di dekat tanah. Udara di tempat tinggi bergerak lebih cepat dan jatuh ke udara yang lebih lambat, kemudian menggelinding seperti tong serta menjadi aliran vertikal udara atas.
Hipotesis lain mengatakan aliran angin ke bawah dengan curah hujan dan pendinginan udara. Adanya perbedaan kepadatan udara dingin dan hangat menghasilkan arus udara yang berputar.
Setelah simulasi dengan resolusi lebih tinggi gagasan lain juga muncul. Dinyatakan bahwa terdapat banyak kantong kecil udara yang berputar dan bergabung menjadi sebuah area dengan rotasi yang membuat tornado terbentuk.
Ilmuwan atmosfer dari Universitas Wisconsin Madison, Leigh Orf, memanfaatkan kemajuan super komputer untuk membangun model resolusi sepuluh meter secara langsung untuk simulasi tornado. Menurutnya, pada skala ini turbulensinya menjadi nyata.
"Ini sepenuhnya mengatasi vortisitas non tornadonik yang menyatu dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya," jelasnya.
Model Orf juga berguna untuk meneliti arus vortisitas streamwise (SVC), yaitu ekor udara yang berputar di sisi badai yang memperkuat rotasi udara di dekat tanah. Penggunaan radar AS direncanakan akan dirombak dengan menggunakan radar generasi baru dengan fitur lebih lengkap.
"Saya sangat yakin bahwa hal-hal yang saya lihat dalam simulasi pada akhirnya akan terdeteksi di atmosfer, seperti SVC," kata Orf.
Di AS, beberapa tornado terbentuk dari badai petir supercell, beberapa tornado lainnya terbentuk dari squall-line, semacam 'jalan tol hujan'. Para peneliti akan melanjutkan upaya mereka untuk mengungkap cara kerja tornado dengan model yang semakin canggih.
(nwk/nwk)