Tak Hanya 'Over Pede', Benarkah Orang yang Narsis Bisa Sensitif & Jadi Pemalu?

ADVERTISEMENT

Tak Hanya 'Over Pede', Benarkah Orang yang Narsis Bisa Sensitif & Jadi Pemalu?

Noor Faaizah - detikEdu
Rabu, 25 Okt 2023 14:30 WIB
Ilustrasi Pria Selfie
Foto: tookapic/Pixabay/Ilustrasi narsis
Jakarta -

Pernahkah detikers melihat atau merasakan orang yang sering menganggap dirinya penting dan terlalu percaya diri? mungkin kondisi tersebut bisa diakibatkan karena gangguan kepribadian narsistik atau Narcissistic Personality Disorder (NPD).

Secara sederhana, gangguan kepribadian narsistik adalah kondisi di mana seseorang memandang besar dirinya terlalu ekstrem, seperti merasa penting, kagum berlebihan hingga menyebabkan kurang empati kepada orang lain.

Fenomena gangguan ini telah lama menjadi penelitian oleh para ilmuwan. Terutama tentang indikasi apakah orang yang narsis juga memiliki sisi kerentanan seperti jadi pemalu hingga hipersensitif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Kemunculan Fenomena Narsistik

Melansir laman Scientific American, dalam kisah Yunani Kuno, terdapat seorang pemburu muda yang memiliki paras tampan rupawan bernama Narcissus.

Nama tersebut kemudian diambil untuk menggambarkan kata narsis karena Narcissus dikutuk untuk mencintai bayangannya sendiri.

ADVERTISEMENT

Pada era lebih modern, para psikoanalis, Heinz Kohut dan Otto Kernberg mengembangkan teori tentang narsisme pada tahun 1960-an dan 1970-an. Mereka membuat sketsa apa yang sekarang dikenal sebagai "model topeng" narsisme.

Teori tersebut menyatakan bahwa sifat-sifat sombong dalam pribadi seseorang seperti rasa arogansi dan ketegasan, ternyata dapat menyembunyikan perasaan tidak aman atau rendah diri.

Selanjutnya pada tahun 1980, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, menjadikan teori tersebut menjadi referensi utama di bidang psikologi untuk mendefinisikan wawasan tentang definisi penderita gangguan kepribadian narsistik.

Dua Dimensi Gangguan Kepribadian Narsistik

Pakar mengatakan penderita gangguan kepribadian narsistik sangat erat kaitannya dengan tingkat kebesaran (grandiosity) seperti rasa arogan dan sombong serta kerentanan (vulnerability) seperti menjadi pemalu, tidak aman, dan hipersensitif.

Namun pada awal tahun 2000-an, Aaron Pincus, seorang psikolog klinis dari Pennsylvania State University memperhatikan bahwa rasa kebesaran (sombong) tidak selalu mewakili apa yang dia lihat pada pasien narsistik.

Terutama saat ia melihat pada pasien narsistik yang datang. Justru biasanya karena adanya rasa kerentanan dan tekanan.

"Hal ini sama sekali mengabaikan apa yang biasanya mendorong pasien datang ke terapi, yaitu kerentanan dan tekanan," kata Pincus.

Oleh karena itu, kondisi ini yang kemudian mendorong Pincus bersama rekan-rekannya mengembangkan variabilitas praktisi kesehatan mental untuk mengkonsep NPD dan label cara pasien NPD mengekspresikan dirinya.

Sejak itu, para peneliti menemukan bahwa kedua dimensi narsisme merujuk pada kemegahan (kesombongan) yang diasosiasikan dengan sikap asertif dan mencari perhatian.

Sementara kerentanan pada orang narsistik cenderung melibatkan neurotisisme seperti kecemasan, depresi, dan kesadaran diri.

Narsisme Bisa Memiliki Manfaat, Tapi...

Elsa Ronningstam, seorang psikolog klinis di Rumah Sakit McLean Massachusetts, mengatakan bahwa narsisme tetap dapat bermanfaat secara fungsional dengan dua catatan.

Pertama, orang yang narsis tetap memiliki pandangan positif pada dirinya maka mampu memberi dorongan untuk menjaga kesejahteraan diri sendiri.

Kedua, tetap mampu mempertahankan hubungan dekat dengan orang lain dan menoleransi perbedaan dari versi ideal diri sendiri.

Akan tetapi, narsisme dapat menjadi sebuah gangguan atau penyakit ketika tidak mampu mempertahankan harga diri. Mereka yang memiliki kondisi ini cenderung memiliki pandangan berlebihan tentang diri mereka sendiri dan mengorbankan orang lain.

Orang yang Narsis Merasakan 'Over Pede' dan Rentan Tidak Secara Bersamaan

Evaluasi para ahli psikologi tentang gagasan narsistik masih 'terombang-ambing' di antara kemegahan (sifat seperti kepercayaan diri berlebih) atau kerentanan.

Menurut survei yang dilakukan oleh psikologis asal University of Michigan, Aidan Wright, bersama mahasiswanya yaitu Elizabeth Edershile, kerentanan dan kemegahan pada orang yang narsis umumnya tidak terjadi bersamaan.

Secara umum, orang-orang yang secara keseluruhan lebih 'over pede' juga mengalami periode kerentanan. Sedangkan mereka yang secara umum lebih rentan tidak mengalami banyak perasaan 'over pede'.

Hal ini juga senada dengan survei tingkat keparahan yang dilakukan oleh psikolog klinis, Emanuel Jauk dari Universitas Kedokteran Graz Austria, yang menunjukkan bahwa kerentanan lebih mungkin muncul pada individu yang sangat 'over pede'.

Namun, bagi Diana Diamond, psikolog klinis di City University of New York, temuan tersebut menunjukkan bahwa model masker tersebut terlalu sederhana.

"Gambarannya jauh lebih kompleks. Kerentanan dan kemegahan ada dalam hubungan yang dinamis satu sama lain, dan keduanya berfluktuasi sesuai dengan apa yang individu hadapi dalam kehidupan, tahap perkembangan mereka sendiri," ujar Diamond.

Perbedaan perspektif ini timbul karena para psikolog mempelajari populasi yang berbeda-beda. Dalam sebuah studi tahun 2017, para peneliti mensurvei 23 psikolog klinis dan 22 psikolog sosial yang tidak menangani pasien.

Hasilnya, ditemukan kedua kelompok psikolog memandang kebesaran (seperti over pede) sebagai aspek penting dari narsisme. Akan tetapi, para psikolog klinis lebih cenderung memandang kerentanan sebagai intinya.

Bagaimana Treatment untuk Gangguan ini?

Sampai saat ini, belum ada uji klinis yang acak untuk pengobatan khusus gangguan kepribadian narsistik. Namun, para dokter mulai mengadaptasi psikoterapi yang terbukti efektif menangani gangguan kepribadian serupa seperti gangguan kepribadian ambang (Borderline Personality Disorder atau BPD).

Perawatan yang saat ini digunakan meliputi "mentalisasi" yang bertujuan untuk membantu individu memahami kondisi mental mereka sendiri dan orang lain.

Kemudian dilakukan juga tindakan "transferensi" yang berfokus pada peningkatan kemampuan seseorang untuk melakukan refleksi diri, mengambil perspektif orang lain, dan mengatur perilaku mereka.

"Orang dengan narsisme patologis dan gangguan kepribadian narsistik memiliki reputasi tidak berubah atau berhenti menjalani pengobatan. Daripada menyalahkan mereka, para dokter dan peneliti perlu mengembangkan lebih jauh strategi yang dapat disesuaikan dengan perbedaan individu," kata Ronningstam.




(faz/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads