Kekerasan seksual pada anak menjadi isu serius yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahkan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak.
KemenPPPA mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada tahun 2021 ke 2022 mengalami peningkatan. Tahun 2021, 4.162 kasus meningkat menjadi 9.588 kasus pada tahun 2022.
"Kita diingatkan bahwa ada satu kondisi dengan penekanan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual," ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (25/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara di lingkungan pendidikan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 15 kasus kekerasan seksual baik di sekolah maupun pondok pesantren dalam kurun waktu Januari-April 2023.
Mirisnya, kasus kekerasan seksual pada anak tersebut lebih banyak terjadi di tingkat Sekolah Dasar (SD) yakni 46,67% kasus. Sedangkan 13,33% di jenjang SMP, 7,67% terjadi di SMK, dan 33,33% di Pondok Pesantren.
"Pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan ada 15 orang, semuanya laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu Pimpinan dan Pengasuh Ponpes ada 33,33%; Guru/Ustad ada 40%; Kepala Sekolah ada 20% dan penjaga sekolah hanya 6,67%. Sedangkan korban total 124 anak, baik laki-laki maupun perempuan," kata Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.
Pentingnya Edukasi dan Mengenal Jenis Kekerasan Seksual
Pakar Psikiatri Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), dr. Yunias Setiawati mengatakan, permasalahan kekerasan seksual di Indonesia membutuhkan penanganan khusus.
Sebab, ada 70% anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik dari luar dan dalam lingkungannya.
Menurutnya, perlu adanya penyelesaian yang panjang karena angka kekerasan seksual pada anak di Indonesia cukup besar. Salah satu usia yang rentan mengalami kekerasan yaitu pada usia di bawah 5 tahun.
"Kita harus menyelesaikan permasalahan ini agar tidak semakin berkepanjangan di masa mendatang karena dapat mengganggu keberlangsungan hidup dari sang anak," tuturnya dikutip dari laman resmi Unair.
Lebih lanjut, dr. Yunias Setiawati juga menjelaskan pentingnya mengenal jenis kekerasan seksual pada anak yaitu secara langsung dan tak langsung.
Catcalling termasuk salah satu yang kerap terjadi di kalangan anak dan remaja. Parahnya, masyarakat kerap kali meremehkan catcalling, namun hal tersebut berdampak besar bagi korbannya.
"Salah satu bentuk catcalling yakni melalui sapaan dengan tujuan tertentu. Sapaan tersebut mengandung makna lain. Hal tersebut yang harus kita hindari," terangnya.
Harus Menyadari dan Deteksi Sedini Mungkin
Pakar Psikiatri Anak Unair tersebut juga mengingatkan bahwa semua orang bisa rentan untuk mengalami kekerasan seksual baik perempuan dan laki-laki.
Sebagian besar dari korban mengalami 'fenomena gunung es', yakni kondisi di mana kekerasan yang dilaporkan sangat sedikit dibandingkan dengan yang tidak.
Menurut dr. Yunias Setiawati, mayoritas dari korban enggan untuk melapor dan speak up atas kekerasan yang mereka alami. Hal itu menjadi bahaya karena anak-anak akan merasa terancam jika mereka melapor kepada pihak luar atas kekerasan yang mereka alami.
Oleh karena itu sangat penting bagi semua orang tidak hanya pendidik dan orang tua untuk mengedukasi korban untuk tidak takut melapor.
"Hal ini perlu adanya penanganan pertama untuk para korban agar rasa trauma berangsur menghilang. Lakukan deteksi dini pada anak jika dirasa hal yang mengganjal selama berkegiatan sehari-hari," ujarnya.
Gejala Psikologis yang Muncul pada Korban Kekerasan Seksual
Dalam situs Kemenkes, dijelaskan bahwa ada beberapa gejala-gejala masalah psikologis yang muncul pada korban kekerasan seksual, yaitu:
1. Gejala fisik
Sakit kepala, jantung berdebar, napas sesak dan pendek, perut nyeri, dan otot tegang.
2. Gejala emosi
Cemas, marah, sedih, frustrasi, merasa sendiri, merasa dikucilkan dan sepi.
3. Gejala perilaku
Pola makan dan tidur terganggu, malas bergerak, agresif, sering menunda pekerjaan.
4. Gejala kognitif
Sulit fokus, kurang konsentrasi, mudah lupa, sulit membuat keputusan, pikiran berulang.
(faz/nwy)