Pagi setelah air laut memasuki rumah, Deli (34) tetap mengantar anak-anaknya berangkat sekolah. Seragam seadanya dan sepatu yang masih basah ia pakaikan pada kedua buah hati, Teguh (12) dan Justin (5), yang bersekolah di SD Negeri Satu Atap 01 Pulau Pari.
Untuk sampai ke sekolah, Deli perlu menempuh jarak 700 meter dari rumahnya di Pantai Bintang, Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dikelilingi luapan air laut, Deli dan para ibu, akan menggendong anaknya ke sekolah.
Alarm Bangun Sekolah
Jika siswa akan dibangunkan oleh alarm, Deli dan kedua anaknya akan dibangunkan dengan ikan yang meloncat ke kasur. Saat Matahari memasuki jendela, mereka akan menyadari rumahnya terendam banjir rob.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seragam dan sepatu yang sudah disiapkan malam sebelumnya basah. Buku yang telah disusun rapi juga bernasib sama.
Kendati banyak rintangan, Deli tetap menyiapkan anak-anaknya untuk berangkat sekolah. Dengan seragam seadanya dan sendal jepit, Deli menggendong anak-anaknya, mengarungi banjir setinggi 30-130 cm.
"Masih bisa belajar. Jadi naik andong atau kita gendong ke sekolah," cerita Deli kepada DetikEdu.
Andong merupakan kendaraan motor dengan kursi penumpang di belakangnya. Andong akan membantu siswa melewati banjir sementara air di rumah mereka akan disedot dengan mesin dari petugas Sumber Daya Air (SDA).
Air Rob yang Bawa Penyakit
Berdampingan dengan Deli, Maryati (28) juga menggendong anaknya, Fahmi, ke sekolah. Tak cuma seragam yang basah, Fahmi juga mengalami masalah lain, yaitu gatal-gatal.
"Kalau buat anak-anak, [banjir rob] engga bagus juga buat kesehatan. Kebanyakan pada gatel-gatel," tutur Maryati.
Maryati menerangkan, air banjir rob akan bercampur dengan air dari pembuangan. Membuatnya menjadi penyebab gatal pada kulit anak. Di samping itu, air juga mencapai setengah dari tinggi anaknya yang baru menginjak usia 6 tahun.
"Jadi ya digendong aja," ujarnya.
Maryati mengaku, gatal yang anaknya alami tidak sampai menghambat aktivitas. Untuk menyembuhkan gatal, ia dan ibu lainnya akan mengantarkan anak mereka ke Puskesmas.
"Alhamdulillah sih engga terganggu. Hanya berobat ke Puskesmas, dikasih obat. Engga berkepanjangan alhamdulillah," tuturnya.
Sebelum sampai di sekolah, Maryati akan menyempatkan diri membeli buku tulis baru. Pengganti dari buku yang terendam banjir semalam.
"Dalam keadaan masuk telat, kita beli [buku] mendadak sendiri," ujarnya.
Siswa Terlambat, Guru Maklum
Sampai di sekolah dengan celana dan rok yang basah, guru di SD Negeri 01 Atap Pulau Pari menyambut para siswa. Keterlambatan, tutur Husnia, guru kelas 1-3, adalah hal yang dimaklumi saat banjir rob menggenang.
"Kita bilang terlambat engga masalah. Tetep dibuka pintunya. Telat dikit engga apa-apa karena perjalanan juga kan, bajunya basah," ujar Husnia.
SD Negeri Satu Atap 01 Pulau Pari terletak di Jalan Pendidikan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Bernama Satu Atap karena gedung sekolah yang dipakai berbarengan dari jenjang TK hingga SMP.
![]() |
Sekolah bercat biru-putih itu diketahui memiliki ketinggian yang lebih tinggi dibanding area terendam banjir rob. Membuat sekolah tetap dibuka untuk menyambut para siswa.
Buku yang basah juga dimaklumi oleh para guru. Guru-guru akan meminta siswa yang terdampak banjir belajar bersama siswa yang tidak terdampak, atau meminjam buku dari sekolah.
"Walaupun kena banjir kita engga boleh ngeluh gini-gini. Buku masih ada temen yang keringkan atau di sekolah masih ada," katanya.
Siswa juga diperbolehkan memakai seragam apa saja yang kering untuk ke sekolah. Meski tidak sesuai dengan ketentuan seragam di hari itu.
Perubahan Iklim Diyakini Sebagai Penyebab Banjir Rob
Mustaghfirin (51) telah menyekolahkan ketiga anaknya di SDN 01 Atap Pulau Pari. Selama bertahun-tahun itu, ia melihat adanya kenaikan frekuensi banjir rob selama 5 tahun terakhir, yang diyakini bersumber dari perubahan iklim.
"Kalau berbicara masalah perubahan iklim, itu bukan cuma rob. Ini angin kencang, ombak pasang. Kalau hujan itu hujan terlalu besar," jelasnya.
Mustaghfirin menjelaskan, hujan besar itu akan membawa banjir. Saat air surut, pasir juga terseret ke dalam laut.
"Kalau hujan terlalu besar bisa banjir. Begitu dia turun ke laut, mereka engga kosong cuma airnya. Mereka juga bawa pasir. Lama-lama terkikis juga [daratannya]," terangnya.
Ketua Forum Peduli Pulau Pari itu berharap, sekolah juga mengajarkan siswa tentang perubahan iklim.
"Saya berharap siswa akan diajarkan materi yang lebih mendalam. Agar mereka tahu dampak dari perubahan iklim itu sendiri," ujarnya.
Benarkah Perubahan Iklim Jadi Penyebab Banjir Rob di Pulau Pari?
"Bisa dikatakan iya termasuk terdampak perubahan iklim," ujar Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, Siswanto, saat ditanya tentang banjir rob sebagai dampak perubahan iklim.
"Bila dalam pengamatan rentang waktu yg panjang didapati terjadinya perubahan rob dan abrasi tersebut menjadi lebih sering dan lebih kuat terjadinya," sambungnya.
![]() |
Lebih lanjut, ia menerangkan wilayah kepulauan akan terdampak langsung oleh naiknya tinggi permukaan air laut.
"Meskipun kenaikan tinggi muka laut itu ordenya masih dalam sentimeter, namun itu meningkatkan risiko wilayah pulau untuk lebih mudah terdampak banjir rob, abrasi dan hempasan gelombang laut tinggi," jelasnya.
Kepala Pusat Meteorologi Maritim, Eko Prasetyo menegaskan, meski terus mengalami banjir rob, potensi tenggelamnya Pulau Pari belum dapat dipastikan. Tetapi, daerah terdampak banjir rob akan terus bertambah.
"Karena salah satu tanda dari perubahan iklim adalah naiknya rata-rata tinggi muka air laut. Jadi secara umum ketinggian air laut itu naik di sebagian besar wilayah," jelasnya.
Banjir Rob Berdampak Pada Semangat Belajar Anak
Studi dari Gregorio Jr Yray Ardales berjudul Adaptive Capacity Index of Public Schools in the Municipalities of Bay and Los BaΓ±os, Laguna, Philippines pada 2017 memaparkan, sekolah bisa dibatalkan karena banjir maupun alih fungsi sekolah menjadi pusat evakuasi. Bahkan, terdapat peningkatan angka putus sekolah akibat banjir.
Hal serupa juga dilaporkan oleh United Nations Children's Fund (UNICEF) pada 2021, dalam laporannya tentang kondisi di Maldives, siswa mengeluhkan sulitnya datang ke sekolah saat banjir rob. Di mana pintu sekolah akan terhalang air laut yang naik ke daratan.
Mengenai banjir rob di Pulau Pari, Psikologi Pendidikan Anak, Rudi Cahyono, menerangkan adanya bencana akan berdampak pada tahap perkembangan anak.
"Bagi anak, yang harusnya energinya dicurahkan untuk memenuhi tugas perkembangannya untuk bermain dan belajar, harus ikut serta memikul beban yang ditimbulkan sebagai dampak banjir," ujarnya.
Lebih lanjut, banjir yang dialami juga akan berdampak pada semangat belajar anak.
"Pastinya berdampak pada semangat belajar. Meskipun anak-anak pasti juga akan berusaha melakukan pertahanan diri secara psikologis, tapi mereka tidak bisa menutup mata bahwa di daerah lain tidak mengalami penderitaan sebagaimana mereka alami," jelas dosen Psikologi Universitas Airlangga itu.
Rudi menegaskan, pemerintah perlu mengambil langkah cepat untuk memenuhi kebutuhan belajar anak di Pulau Pari. Terutama pemenuhan fasilitas fisik penangkal banjir.
"Pembenahan ini tidak boleh hanya bersifat sementara, karena kebutuhan anak untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya juga tidak bisa sering berhenti atau malah tidak berlanjut. Dengan pemenuhan sarana fisik yang aman dari banjir, anak juga akan lebih aman dalam memenuhi kebutuhannya dalam bermain dan belajar," tegasnya.
Situasi di Pulau Pari turut mendapat perhatian dari dinas pendidikan setempat. Dalam langkah pengendalian, Kepala Bidang Humas Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taga Radja Gah mengatakan, koordinasi dengan Satuan Pendidikan 01 Atap terus dilangsungkan.
"Kita secara berkala ada rapat koordinasi. Biasanya kalau ada kejadian yang force majeure akan disampaikan," jelasnya.
(nir/nwk)