Generasi sandwich menjadi tantangan yang banyak dihadapi anak muda pada usia produktif kerja. Mereka memiliki tanggung jawab untuk memenuhi dirinya sendiri dan keluarga.
Istilah generasi sandwich muncul pada tahun 1981, dipopulerkan oleh seorang profesor dari Universitas Kentucky, Dorothy Miller. Ia juga merupakan seorang pekerja sosial.
Generasi sandwich mulanya digunakan untuk menggambarkan kondisi perempuan usia 30-40 tahun yang terjepit situasinya antara pasangan, anak-anak, orang tua, dan majikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada era sekarang, generasi sandwich menjadi istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan situasi generasi yang 'terjebak di tengah', baik itu perempuan atau laki-laki.
Kebanyakan, mereka terjebak untuk bertanggung jawab atas hidup dirinya sendiri, orang tua, hingga anak-anak atau anggota keluarga lain.
Apa yang Menyebabkan Generasi Sandwich Merasa Terjebak?
Studi baru dari tim yang berbasis di Departemen Psikiatri Universitas Michigan, AS, memperkirakan setidaknya ada 2,5 juta orang di Amerika yang memberi pandangan tentang diri mereka dan orang dewasa yang mengandalkan mereka.
Secara keseluruhan, hampir seperempat orang dewasa mengasuh setidaknya satu orang tua di atas usia 65 dan merawat setidaknya satu anak di bawah 18 tahun.
"Generasi sandwich dua kali lebih mungkin melaporkan kesulitan keuangan (36% vs 17%) dan lebih mungkin melaporkan kesulitan emosional (44% vs 32%) dibandingkan orang dewasa lain yang hanya merawat orang tua di atas 65 tahun," tulis studi dalam Journal of American Geriatrics Society, dikutip dari laman resmi Universitas Michigan.
Persoalan merawat orang tua dan anak-anak atau keluarga lain sekaligus menjadi tantangan dari segi keuangan, kesehatan dan mental generasi sandwich, menurut peneliti.
Para Ibu dalam Generasi Sandwich Merasa Lebih Stres
American Psychological Associations (APA) mencatat ibu yang mengasuh anak dan orang tua lanjut usia sekaligus, sering kali merasa kewalahan.
Namun hebatnya, mereka dapat mengelola stres dengan mengidentifikasi pemicu, perawatan diri, dan meminta dukungan.
Para ibu dalam generasi sandwich antara usia 35-54, merasa lebih stres daripada kelompok usia lainnya saat mereka menyeimbangkan tuntutan, pengasuhan dalam merawat anak-anak yang sedang tumbuh dan orang tua yang menua.
Menurut survei APA, dua dari lima pria dan wanita dalam kelompok usia 35-54 merasa kewalahan dan ada lebih banyak wanita yang melaporkan mengalami stres ekstrem dan mengatakan bahwa mereka mengelola stres dengan buruk.
Hampir 40 persen dari mereka yang berusia 35-54 tahun melaporkan tingkat stres yang ekstrim dibandingkan dengan 29 persen dari mereka yang berusia 18-34 tahun dan 25 persen dari mereka yang berusia lebih dari 55 tahun.
Stres Generasi Sandwich yang Berdampak ke Hubungan Sehari-hari
Hal yang perlu jadi perhatian adalah stres yang dialami generasi sandwich bisa berdampak pada hubungan pribadi.
Sebanyak 83 persen dari studi APA, mengatakan hubungan dengan pasangan, anak-anak, dan keluarga mereka adalah menjadi sumber utama stres.
Di sisi lain, mereka perlu berjuang pada kesejahteraan mereka sendiri dengan merawat diri sendiri lebih baik.
"Tidak mengherankan jika begitu banyak orang dalam kelompok usia tersebut mengalami stres," kata psikolog Katherine Nordal, PhD, direktur eksekutif untuk praktik profesional, American Psychological Association.
"Kekhawatiran akan kesehatan orang tua Anda, dan kesejahteraan anak-anak Anda serta kekhawatiran finansial untuk menyekolahkan anak-anak dan menabung untuk masa pensiun Anda sendiri adalah banyak hal yang harus ditangani," imbuh Nordal.
Cara Mengenali dan Mengelola Stres
Baik anak muda atau usia produktif lain termasuk Ibu dalam generasi sandwich, sangat penting untuk mulai mengelola stres. APA memberi beberapa caranya, yakni:
1. Identifikasi penyebab stres
Peristiwa atau situasi apa yang memicu perasaan stres? Apakah itu terkait dengan anak-anak, kesehatan keluarga, keputusan keuangan, pekerjaan, hubungan, atau hal lain?
Jika sudah ketemu, urutkan berdasarkan skala prioritas yang paling mendesak dan yang paling sanggup dihadapi secara mental.
2. Kenali cara mengatasi stres
Mulailah mengenali bagaimana cara merespon stres terhadap perilaku sehari-hari. Cobalah untuk tidak menggunakan perilaku tidak sehat untuk mengatasi stres dalam mendukung anak dan orang tua.
Ahli menyarankan untuk selalu menempatkan segala sesuatu dalam perspektif yang luas dan perlunya meluangkan waktu untuk hal yang benar-benar penting.
Identifikasi juga hubungan keluarga dan teman di kehidupan sehari-hari agar dapat mengurangi beban sehingga pikiran punya waktu beristirahat. Tunda atau katakan tidak untuk tugas yang kurang penting.
3. Temukan cara yang sehat untuk mengelola stres
Selalu pertimbangkan aktivitas yang sehat untuk mengurangi stres seperti berjalan kaki singkat, berolahraga, atau membicarakan berbagai hal dengan teman atau keluarga.
Perlu diingat bahwa perilaku yang tidak sehat bisa berkembang dari waktu ke waktu dan sulit untuk diubah. Jadi, berfokuslah untuk mengubah sedikit perilaku dari waktu ke waktu agar lebih sehat.
Baca juga: Mengapa Gen Z Mudah Insecure? Ini Alasannya |
4. Menjaga diri
Dengan berbagai tantangan yang ada, tetaplah untuk berusaha makan dengan benar, tidur yang cukup, minum banyak air, dan lakukan aktivitas fisik secara teratur seperti berjalan atau yoga atau bermain.
Tetaplah coba berhubungan dengan teman-teman, anggota keluarga untuk berkomunikasi dalam sehari-hari.
Tidak peduli betapa sibuknya kehidupan, mengurus diri sendiri termasuk meluangkan waktu adalah hal penting agar bisa memiliki energi mental dan fisik untuk merawat orang tua dan anak-anak.
5. Meminta dukungan profesional
Menerima bantuan dari teman dan keluarga yang mendukung, dapat meningkatkan kemampuan untuk bertahan selama masa-masa penuh tekanan sebagai generasi sandwich.
Tetapi jika dukungan teman dan keluarga belum bisa melegakan, cobalah untuk berbicara dengan psikolog yang dapat membantu cara mengatasi emosi di balik kekhawatiran yang ada.
(faz/pal)