Mudik menjadi momentum yang paling ditunggu oleh masyarakat Indonesia. Pasalnya, pada saat mudik, masyarakat Indonesia dapat beristirahat dari hiruk pikuk kota ataupun kesibukan dan dapat menghabiskan waktu bersama keluarga.
Biasanya masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim akan melakukan mudik pada saat menjelang Hari Raya Idul Fitri ataupun bagi yang beragama Nasrani, ketika Natal dan Tahun Baru. Hampir setiap masyarakat Indonesia pernah melakukan mudik menuju ke desa atau kampung halaman.
Apa Itu Mudik?
Salah satu tradisi yang sudah mengakar di Indonesia adalah mudik yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) warga Indonesia tahun 2022 mencapai 275 juta. Dari jumlah total penduduk Indonesia itu, yang akan melakukan mudik pada musim libur Lebaran 2023 menurut data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencapai 123,8 juta orang. Artinya, pergerakan mudik Lebaran kali ini mencapai 44% total penduduk Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendefinisian akan kata mudik juga cukup beragam dan sering diartikan sebagai pulang kampung seperti yang dituliskan dalam laman UGM. Mudik dalam bahasa Jawa dianggap sebagai akronim dari 'mulih dhisik' yang berarti pulang dahulu.
Namun, kata mudik juga dianggap berasal dari bahasa Betawi yaitu 'udik' yang memiliki makna sebagai desa atau kampung. Tafsiran mengenai kata mudik juga berasal dari bahasa Arab yaitu 'al-aud' yang berarti kembali.
Jika menilik kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka kata mudik akan diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.
Asal Usul Tradisi Mudik
Masih dalam laman UGM, Umar Kayam mencatat bahwa mudik merupakan tradisi ziarah yang sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha tetapi sempat hilang. Islam datang menghilangkan beberapa tradisi yang dianggap syirik, termasuk ziarah. Tetapi kemudian Islam dan tradisi di Jawa dapat berakulturasi sehingga masyarakat bisa menerima dengan harmoni. Perlahan ziarah kubur dapat diterima dengan disisipi ajaran agama. Kendati sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, mudik tetap terjaga hingga saat ini.
Sedangkan dalam buku 'Kajian Sosiologis Fenomena Mudik' yang dilansir dari laman Universitas Indonesia (UI), diketahui bahwa mudik telah menjadi trend di Indonesia sejak tahun 1970-an. Trend mudik terjadi karena kota-kota Indonesia mulai berkembang secara pesat sebagai imbas integrasi pada sistem ekonomi kapitalis.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya dinamika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan pada kota-kota besar yang mengakibatkan terjadinya migrasi dan penambahan penduduk pada kota-kota besar.
Dampaknya adalah para pendatang di kota besar akan melakukan aktivitas mudik jika mereka memiliki kesempatan khususnya pada hari libur yang cukup panjang dan memiliki nilai kultural seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru.
Dituliskan dalam jurnal 'Mudik dan Keretakan Budaya' yang ditulis Agus Maladi Irianto dari jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dilansir laman Kemdikbud, mudik memang memiliki kaitan yang erat dan tidak bisa dilepaskan dengan migrasi dari desa ke kota. Sehingga dapat kita ketahui awal mula dari trend mudik yang saat ini terjadi adalah akibat perpindahan penduduk, baik urbanisasi dan transmigrasi.
Namun, urbanisasi atau perpindahan penduduk tidak hanya sekedar menyangkut perpindahan masyarakat. Pasalnya, tempat asal maupun tempat yang dituju pasti memiliki nilai dan kebudayaan yang dapat mempengaruhi setiap yang melakukan perpindahan.
Perbedaan nilai antara desa dan kota terletak pada perbedaan respons masyarakatnya akan sumber daya alami yang mereka miliki. Tampak pada kota yang dianggap lebih culture karena masyarakatnya terlihat kuat dan mampu mengatasi determinasi alam yang terjadi.
Nilai yang dimiliki desa dianggap lebih nature karena masyarakatnya dianggap mampu ditaklukan oleh alam atas nama keseimbangan dengan alam. Para sosiolog juga menunjukkannya dengan fakta, kota merupakan pusat industri, kantong mobilitas ekonomi dan pusat kekuasaan yang membuat keputusan-keputusan khalayak.
Manfaat dan Kerugian
Manfaat dan kerugian dari dilakukannya mudik yang mengutip dari buku 'Kajian Sosiologis Fenomena Mudik' yang dilansir dari laman UI adalah:
Pertama, manfaat yang ditawarkan oleh mudik adalah sebagai penyumbang jumlah perputaran uang di desa. Pasalnya, para pemudik dari kota biasanya akan membawa jumlah uang yang cukup banyak untuk dibelanjakan dan dapat menyumbang pemasukan daerah.
Kedua, manfaat mudik adalah memulihkan produktivitas. Ketika mudik, manusia dapat menjalin hubungan yang lebih erat dengan manusia lain maupun warga di desa sehingga diharapkan dapat menopang produktivitas ketika kembali ke kota.
Sedangkan kerugian pada saat mudik biasanya akan terjadi secara sistemik. Biasanya pada saat mudik akan muncul permasalahan akan transportasi, keamanan, lingkungan (polusi), dan ekonomi rumah tangga. Untuk mengatasi permasalahan tersebut erat kaitannya dengan bagaimana negara memfasilitasi mudik.
Sementara menurut jurnal berjudul 'Tinjauan Antropologi Hukum dan Budaya Terhadap Mudik Lebaran Masyarakat Yogyakarta' yang ditulis Saud Sarim Karimullah dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta esensi dari mudik, khususnya mudik Lebaran, sebagai berikut:
1. Ekspresi kegembiraan dan kebebasan sebagai suatu simbol hari kemenangan, setelah menjalani kurang lebih satu bulan berpuasa di bulan Ramadan
2. Ekspresi sebuah kerinduan terhadap suasana kehidupan di kampung kelahiran yang begitu nyaman dan aman dengan cuaca yang sejuk jauh dari keramaian bunyi knalpot kendaraan dan kemacetan lalu lintas.
3. Ekspresi psikologis manusia untuk kembali memulai menjalani kehidupan secara lebih baik, bermoral, beradab, dan berdasarkan pada spirit Islam dalam kehidupan sosial masyarakat.
4. Membangun sifat positif yang akan membangun ketenangan dalam jiwa dan memberikan pengaruh besar yang positif dalam hidup manusia dalam menjalani kehidupan sosial.
Hal ini tercermin pada fenomena mudik mempunyai hubungan erat dengan kebiasaan perilaku sosial manusia untuk selalu berperilaku baik, saling menghargai, dan menghormati serta saling bekerjasama antar sesamanya.
Secara sifat dan kejiwaan dalam diri setiap manusia terdapat sikap sabar, ikhlas, dan spirit kerja sama serta gotong royong, saling berjabat tangan ketika bertemu, saling memaafkan dan menerima atas segala keadaan hidup.
Mudik Lebaran merupakan perilaku sosial dalam melakukan interaksi secara kolektif untuk saling memaafkan antar sesama manusia. Silaturahmi dan saling memberi maaf serta menebar senyum kepada sanak keluarga, saudara, tetangga.
(nwk/nwk)