Viral Cita-cita Siswa Dipatahkan, Bagaimana Cara Menemukan Minat & Bakat Anak?

ADVERTISEMENT

Viral Cita-cita Siswa Dipatahkan, Bagaimana Cara Menemukan Minat & Bakat Anak?

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 24 Feb 2023 18:30 WIB
Creative smart student thinking about the future
Ilustrasi anak-anak. Foto: Getty Images/iStockphoto/artplus
Jakarta - Utas Twitter pengajar Bambang W Nugroho @bambangwn viral sejak Senin (20/3/2023). Rangkaian cuitannya mengisahkan sang anak yang mengundurkan diri dari pendidikan profesi dokter karena kemampuan dan minat menjadi dokter sudah lenyap.

Bambang menuturkan, usai meraih gelar Sarjana Kedokteran, sang anak mengalami masalah kejiwaan hingga menjalani pengobatan dan terapi oleh psikiater dan menunda ikut program co-assistant (co-ass).

Berangkat dari terapi di akhir pendidikan, Bambang dan keluarga mengetahui bahwa saat SMP, cita-cita sang anak menjadi penyanyi dipertanyakan gurunya di kelas. Alhasil, anak tersebut memilih berganti cita-cita menjadi dokter.

"Mbok cita-cita itu yang beneran, kayak teman-temanmu tadi lho.. Mosok jadi penyanyi," kata Bambang menirukan guru tersebut, dikutip dari cuitan dengan izin, Jumat (24/2/2023).

Mendengar perkataan guru dan tawa teman sekelas, anaknya tertegun dan menjawab ulang dengan profesi lain. "Saya ingin jadi dokter...," sambung Bambang menirukan anaknya.

Ia menuturkan, dirinya dan keluarga tidak mengetahui peristiwa tersebut hingga diinformasikan saat sang anak terapi kejiwaan di tahun-tahun terakhir kuliah.

"Maaf, kami baru tahu hal ini setelah anak kami bermasalah di kuliahnya, dan di koasnya. Itu dari hasil terapi. Andai kami tahu sejak awal pas dia di SMP, kami pasti sudah antisipasi," kisahnya yang juga seorang pengajar selama 30 tahun terakhir.

Mengenalkan Anak pada Minat dan Bakat

Merespons kisah ini, pemikir Merdeka Belajar dan Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan menuturkan, guru dan orang tua pada dasarnya membimbing anak untuk menemukan minat dan bakatnya.

"Marahlah. Mangkel. Gimana ya, tugas guru, tugas orang tua, itu kan membimbing anak untuk menemukan arahnya sendiri. Soal profesi serius atau tidak, berprospek atau tidak, tidak datang dari orang-orang dewasa, baik guru dan orang tua," kata Bukik kepada detikEdu.

"Tugas orang dewasa itu mengarahkan anak riset sendiri, dengan data akurat, sesuai keinginannya, lalu menyimpulkan sendiri. Anaknya yang menentukan, bukan orang tua atau guru," imbuhnya.

Bukik menuturkan, menuju kemandirian anak di usia lulus sekolah hingga memulai karier, penting untuk tidak mengabaikan pengenalan minat dan bakat sejak kecil.

"Proses untuk menemukan minat dan bakat untuk jadi karier memang proses panjang. Kalau berharap anak mandiri di usia 19 tahun, saat udah lulus SMA, bisa hidup mandiri, ada proses sepanjang hidup untuk menuju ke sana. Tetapi kita sering abai karena hal yang sifatnya administratif atau normatif," ucapnya.

Bukik menjabarkan sejumlah tahap dan cara mengenalkan anak pada minat, bakat, dan cita-cita sebagai berikut:

1. Mengetahui Profesi Sejak Kelas 3-4 SD.

Idealnya, kata Bukik, siswa kelas 3-4 SD sudah harus dikenalkan dengan beragam profesi dengan lingkungan sekitarnya.

"Tetapi hanya sejauh kenal, ya. Datang ke kantor media massa, datang ke kantor polisi, tempat kerajinan, tempat budaya,tempat kesenian, juru fotografi. Itu harus dikenalkan di kelas 3-4 SD, jadi mencocokkan dengan profesi tersebut," tuturnya.

"Di SD itu dibentuk angannya ya, karena pada anak SD itu (fokusnya) pada kemampuan belajar, menggunakan riset, dan pengambilan keputusan," imbuhnya.

2. Mengenali Dunia Profesi di Masa SMP

Mengacu pada Ki Hajar Dewantara, sambungnya, siswa SMP dapat mengenali dunia profesi lewat studi lapangan hingga magang.

"Jangan bayangkan magang harus di perusahaan besar, apakah di rumah makan Padang, salon, fotokopi, kantor media. Peran mereka seperti lebih lebih mengamati bagaimana sebenarnya yang terjadi pada suatu profesi tersebut," tutur Bukik.

Ia menuturkan, siswa SMP sudah dapat menghasilkan karya yang menunjukkan minat ke suatu bidang. Ia mencontohkan, dari kesenangan pada konten, anaknya sudah dapat menyunting konten anak lainnya.

4. Hindari Mematahkan Cita-cita Anak

Bukik menekankan, secara prinsip, orang dewasa harus menghindari untuk mematahkan cita-cita anak.

"Satu larangan utama dan guru untuk cita-cita anak-anak yaitu mematahkannya, seaneh apapun itu. Bertanya dengan rasa ingin tahu boleh, misalnya, 'apa yang kamu harapkan dari menjadi penyanyi, penyanyi yang kayak gimana?' " katanya.

"Rasa ingin tahu boleh, mematahkan itu larangan terbesar. Kenapa? karena anak punya kemauan sendiri itu sudah bagus. Sekalinya anak tidak punya kemauan, lalu diam, itu jadi sangat susah bagi guru, orang tua, dan siswa sendiri," imbuhnya.

5. Memberi Semangat yang Tepat

Memberi semangat atas pilihan cita-cita anak sangat dianjurkan menurut Bukik sebagai dorongan untuk mewujudkannya alih-alih membayangkannya saja.

"Setiap anak akan dapat feedback dari lingkungan. Misalnya, diri sudah punya judgement bahwa anak itu tidak bagus suaranya. Tidak boleh dipatahkan. Ditanya, didorong untuk mewujudkannya. Itu akan ada feedback dari orang lain, protes misalnya," kata Bukik.

"Dari situ anak berpikir, bahwa kita sejak awal sudah ada di sisi supporternya. Walau dapat umpan balik yang tidak sesuai harapannya, ia akan balik ke orang tua dan gurunya, atas patah hati cita-citanya itu. Dari situ justru dibantu, 'apa iya cita-cita ke situ'. Jadi larangan utamanya adalah mematahkan (cita-cita anak)," imbuhnya.

Ruang bagi Anak Menceritakan Cita-cita

Bukik menjelaskan, fasilitas ruang bagi anak menceritakan cita-citanya sudah ada lewat guru BK, baik di kelas maupun di ruang BK.

"Dan memang sudah seharusnya, bahwa guru BK tugasnya membantu murid menemukan minat bakat dan mengejar cita-cita mereka," tuturnya.

"Ada strategi kolektif dan individual. Kalau konteksnya anaknya malu bicara di depan umum, perlu difasilitasi tata muka, 1-on-1, face to face," sambung Bukik.

Cita-cita, Keterbatasan Finansial, dan Keterbatasan Dukungan

Bukik menekankan, adalah PR orang dewasa baik guru maupun orang tua untuk mendukung minat, bakat, dan cita-cita anak, termasuk secara psikologis maupun finansial.

"Masyarakat itu masih egosentris, arahnya mencapai cita-cita sendiri, obsesi sendiri. Itu perlu dibongkar, tetapi itu PR besar, wacana pendidikan mengarah ke sana," katanya.

"Agak menantang, satu pihak (guru atau orang tua) tidak berpihak, masih mungkin, kalau dua-duanya? Sangat sulit buat anak," imbuhnya.

Bukik menjelaskan, ada beragam variasi sikap mendukung, mulai dari fasilitas, uang, izin, maupun psikologis.

"Bukan mematahkan. Kala sampai semuanya itu tidak ada, akan setengah mati buat anak. Setidaknya kalau membiarkan (anak dengan cita-citanya), anak bisa cari celah, karena anak juga mencari tempat sendiri mengembangkan minat bakat, seperti musik atau band, menyisihkan uang saku untuk sewa studio, belajar desain grafis di laptop yang kapasitasnya untuk sekolah. (Jangan) batasnya malah guru dan orang tua," jelasnya.

Ia mengingatkan, anak-anak merupakan pemimpin di masa depan, sehingga perkembangan yang baik akan mendukungnya hidup saat dewasa.

"Orang tua salah satu peraih Nobel ditanya, bagaimana melahirkan anak jadi peraih Nobel. Ia bilang, 'saya tidak mengikat, tidak memotong sayap-sayapnya. Jika tidak bisa beri fasilitas dan uang, jangan patahkan (cita-citanya), beri dukungan psikologis agar ia terus eksplorasi potensinya dan mewujudkannya," kata Bukik.

"Orang dewasa, guru dan orang tua, ayo berpihak pada anak. Beri dukungan semampunya agar anak bisa berkembang optimal," ucap dia.


(twu/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads