Kolonel (Inf) Sarwo Edhie Wibowo melejit namanya saat peristiwa Gerakan 30 September atau dikenal dengan G30S PKI. Kelak, putri Sarwo Edhie menikah dengan prajurit TNI bernama Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia.
Sarwo Edhie kala meletusnya G30S memegang jabatan Kepala Staf Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau sekarang dikenal dengan nama Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Namun, karena Komandan RPKAD Moeng Parhadimoeljo sedang menempuh pendidikan, Sarwo menjadi orang nomor satu sementara di kesatuannya sejak Januari 1965.
Dikutip dari buku G30S, Fakta atau Rekayasa karya Julius Pour, pagi-pagi benar sekitar pukul 05.30 Jumat 1 Oktober 1965, dua perwira Angkatan Darat mendatangi kediaman Sarwo Edhie di Kompleks RPKAD Cijantung.
Sunarti Sri Hadiyah segera membangunkan suaminya yang tidur terlambat karena punya kebiasaan menjalani tirakat setiap malam Jumat. Sarwo terkejut saat mengetahui yang datang dua perwira ajudan Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani. Intuisinya tahu ada yang tak beres.
"Ada apa dengan Bapak, pagi-pagi kalian datang kemari?," tanya Sarwo pada Mayor Soebardi dan Mayor Sudarto. Hubungan Sarwo Edhie dengan Jenderal Yani terbilang dekat. Waktu kecil mereka bertetangga dan sama-sama mengikuti pendidikan calon perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Mayor Soebardi menceritakan bahwa Jenderal Yani ditembak dan diculik. Keberadaannya belum diketahui. Sebelum ke Cijantung, dua perwira menengah ini sempat menghadap Panglima Kodam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah. Mayjen Umar pun memerintahkan mereka menemui Kolonel Sarwo Edhie.
Tanpa pikir panjang, prajurit asal Purworejo tersebut menghubungi bawahannya, Komandan Batalyon I/RPKAD, Mayor (Inf) Chalimi Iman Santosa. Santosa diminta segera mengumpulkan pasukan. Kebetulan saat itu pasukan Santosa berada di Senayan untuk mengikuti latihan upacara peringatan Hari ABRI.
Perintah penarikan pasukan untuk kembali ke Cijantung itu mengejutkan dan bikin kesal pengawas latihan. Prajurit RPKAD yang baru saja tiba di Parkir Timur Senayan mendadak naik kembali ke truk. Kemudian pergi meninggalkan Senayan dengan terburu-buru.
Kekuatan personel RPKAD yang berada di Cijantung saat itu memang terbatas. Beberapa kompi sedang ditugaskan ke perbatasan Kalimantan-Malaysia dan Irian Barat. Setelah sampai di Cijantung, Mayor Santosa memberi penjelasan pada pasukannya. Mereka ditarik dari Senayan karena ada tugas yang jauh lebih penting.
Setelah memberi briefing, Mayor Santosa bersama 4 Komandan Kompi RPKAD menghadap Kolonel Sarwo Edhie. Selama pertemuan, diutuslah kurir menemui Brigjen Moeng untuk meminta petunjuk menghadapi kasus penculikan Jenderal Yani. Moeng berpesan hubungi Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Karena menurut kebiasaan jika Jenderal Yani berhalangan, Soeharto ditunjuk menjadi penggantinya.
Tepat pukul 13.00 pada 1 Oktober 1965 semua Komandan Kompi diperintahkan bergerak menuju Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur. Kolonel Sarwo Edhie memerintahkan seluruh pasukan RPKAD mengenakan jaket loreng motif darah mengalir dipadu celana hijau dengan baret merah di kepala.
"Perjalanan menuju Kostrad berlangsung lancar, walau di jalan berpapasan dengan truk pengangkut pasukan bertanda pengenal pita merah-hijau di bahu kanan....," tulis eks Panglima ABRI Feisal Tanjung dalam biografinya Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABRI. Feisal masih berpangkat Letnan I saat terlibat dalam peristiwa itu.
Soeharto kemudian memerintahkan RPKAD merebut RRI dan Pusat Telekomunikasi yang sudah dikuasai pasukan Letkol Untung. Instruksi tersebut datang ketika menjelang malam sekitar pukul 18.30. Mayor Santosa mengirim satu kompi merebut RRI, satu kompi merebut gedung Pusat Telekomunikasi, dan sisanya bersiap di Markas Kostrad.
Operasi tersebut berlangsung singkat. Gedung RRI berhasil diambil alih satu peleton pasukan RPKAD yang dipimpin Letnan II Sintong Panjaitan tanpa perlawanan. Menurut Salim Said dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi, ketika Sintong dan pasukan Baret Merah tiba di RRI, orang-orang Gestapu memang sudah pada pergi.
"Itulah penjelasannya mengapa pengambilalihan studio pusat RRI tidak menggunakan kekerasan," tulis Salim. Tepat pukul 19.20 rekaman suara Mayjen Soeharto yang mengumumkan telah terjadi kup oleh Dewan Revolusi Indonesia bisa mengudara.
Setelah membebaskan RRI dan Pusat Telekomunikasi, pasukan RPKAD kembali ke Markas Kostrad. Soeharto pun memerintahkan RPKAD dibantu Batalyon 328/Para Kostrad, tank dan panser dari Yonkav Kodam Jaya dan Yonkav Kostrad merebut Pangkalan AU Halim Perdanakusuma. Soeharto meyakini Halim menjadi pusat G30S.
Operasi RPKAD di Halim >>>
Pukul 06.00 pagi 2 Oktober 1965 secara serentak 4 kompi RPKAD memasuki wilayah Halim lewat utara dan selatan. Feisal Tanjung dalam biografinya menyebut operasi tersebut berlangsung singkat, praktis tanpa perlawanan.
Sekitar pukul 10.00 Kolonel Sarwo Edhie berniat memasuki Koops AURI untuk menemui Presiden Soekarno. Padahal Bung Karno telah meninggalkan Halim menuju Istana Bogor sebelum tengah malam.
Hanya saja versi AURI tidak pernah ada perebutan dan pendudukan Halim oleh pasukan mana pun. Hal tersebut diungkap Komandan Pangkalan AU Halim Perdanakusuma saat itu, Wisnu Djajengminardo dalam autobiografi Kesaksian: memoir seorang kelana angkasa.
Menurut Wisnu sekitar pukul 06.30 dia mendapat laporan RPKAD sudah ada di perbatasan Halim dekat Pondok Gede. Ia lalu menemui Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang di Markas Koops. Herlambang merupakan perwira paling senior yang berada di sana.
Menurut Wisnu, perintah Herlambang saat itu, "Hentikan tembak-menembak, mereka bukan musuh kita." Deputi Operasi Menteri/Panglima AU Komodor Udara Ignatius Dewanto berusaha menemui Kolonel Sarwo Edhie untuk menghindari pertumpahan darah.
Dewanto, perwira tinggi bintang satu ini lantas memanggil Sarwo Edhie dan para komandan pasukan lainnya menuju Markas Koops menemui Laksamana Herlambang.
"Kolonel Sarwo tampaknya hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa tidak ada orang-orang atau pasukan komunis berada di kompleks Halim. Akhirnya, AURI sepakat mengizinkan RPKAD masuk ke Halim...," tulis Wisnu.
RPKAD meninggalkan Halim sekitar pukul 19.00. Wisnu menuturkan dirinya melihat Mayor Santosa melambai-lambaikan tangan sambil tertawa lebar. "Saya merasa, kami berdua sama-sama merasa lega dan bersyukur, tidak terjadi sesuatu yang dapat kami sesalkan kelak kemudian hari..."
Kolonel Sarwo yang mendengar Bung Karno memanggil semua panglima angkatan akhirnya berangkat ke Istana Bogor menggunakan helikopter bersama Laksamana Herlambang. Ia mengira Mayjen Soeharto sudah berada di Bogor. Rupanya Soeharto masih dalam perjalanan.
Perjalanan tersebut berbuntut panjang di kemudian hari. Panglima Kostrad curiga Kolonel Sarwo telah melapor pada Soekarno. Salim Said dalam bukunya menyebut Soeharto marah. Soeharto menganggap Komandan RPKAD itu punya rencana sendiri yang berbeda dengan kebijakannya sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat.
"Kecurigaan dan kemarahan Soeharto kepada Sarwo itu berakibat fatal. Karier militer mantan Komandan RPKAD dibunuh secara kejam meski perlahan-lahan," tulis Salim.
Jenderal Yani Akhirnya Ditemukan >>>
Agen Polisi Tingkat II Sukitman yang turut dibawa komplotan G30S ke Lubang Buaya menurut kesaksian Feisal Tanjung dibebaskan pasukan RPKAD. Ia terus dibawa ke Cijantung menemui Kolonel Sarwo Edhie.
Sarwo kemudian meminta Sukitman menceritakan pengalamannya selama tiga hari terakhir. Kemudian menggambar di papan tulis denah lokasi tempatnya disekap.
"Beliau (Sarwo) membesarkan semangat dengan berkata, Sukitman, semua orang sekarang ini tinggal menggantungkan harapan satu-satunya kepada dirimu. Kalau kamu tidak pernah mau ngomong, usaha kita dalam mencari Jenderal Yani dan semua korban penculikan, pasti gagal..."
Berdasarkan denah buatan Sukitman, Mayor Santosa bergerak ke Lubang Buaya bersama Kompi Feisal Tanjung. Sejak pukul 09.00 pada 3 Oktober mereka mulai mencari jejak. Setiap gundukan tanah yang mencurigakan langsung digali. Semak belukar dan semua rumah di lokasi diperiksa.
Menjelang siang Mayor Santosa datang ke lokasi. Tiba-tiba kakinya menginjak tanah gembur yang berbeda dengan kondisi sekelilingnya. Prajurit RPKAD kemudian diperintahkan menggali. Menjelang sore dari lokasi penggalian tampak sejumlah bagian tubuh, tapi ternyata sumur tersebut dicurigai mengandung gas beracun.
Mayor Santosa mengontak Kolonel Sarwo Edhie yang berada di Cijantung meminta bantuan masker pelindung. Laporan tersebut diteruskan pada Mayjen Soeharto. Sarwo akhirnya memberi petunjuk, penggalian dihentikan untuk dilanjutkan 4 Oktober pagi pukul 09.00.
"Panglima Kostrad akan langsung memimpin pengambilan jenazah," seperti dikutip dari biografi Feisal Tanjung.