Pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr Mahathir Mohamad bahwa Malaysia harusnya mengeklaim kepemilikan atas Singapura dan Kepulauan Riau karena dulunya di bawah Kesultanan Johor mengundang polemik dan perlu dikritisi.
Dalam sebuah acara di Selangor dan diberitakan straitstimes.com, Selasa (21/6/2022), Dr M menyebutkan, harusnya Malaysia tidak hanya menuntut agar Pedra Branca, atau Pulau Batu Putih dikembalikan kepada Malaysia, tetapi juga harus menuntut Singapura dan Kepulauan Riau karena dulunya adalah Tanah Melayu.
Sejumlah pihak telah mengomentari pernyataan Dr M ini, mulai dari Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, pihak istana maupun pengamat politik dan lainnya. Dari kacamata kesejarahan, ada sejumlah hal yang bisa jadi koreksi atas pernyataan kontroversial politisi senior Malaysia tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Riset dan Birokrasi Kita |
Pertama, adanya kekeliruan dan pandangan berbeda dalam melihat kesejarahan wilayah Kepulauan Riau. Pihak kolonial Belanda dan Inggris dan Malaysia sejak dulu menanamkan pandangan bahwa wilayah Kepri murni menjadi wilayah Kesultanan Johor sampai Kesultanan Riau Lingga dibubarkan Belanda tahun 1913. Pandangan ini berdampak besar dalam kesejarahan Kepri yang selama ini dicatat sebagai kesejarahan Malaysia.
Kedua, adanya fase atau periodisasi kesultanan yang menguasai wilayah Tanah Melayu ini. Wilayah Kepri faktanya pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Melaka dan Kesultanan Johor Lama. Namun, yang perlu dicatat sejak tahun 1722, Kesultanan Riau berpusat di Hulu Riau ( Sungai Carang sekarang) di Pulau Bintan.
Dari tahun 1722 sampai 1913 ketika Kesultanan Riau Lingga dibubarkan Belanda, pusat pemerintahannya tidak pernah lagi di Johor. Pusat pemerintahan tahun 1787 malahan dipindahkan dari Hulu Riau ke Daik Lingga (wilayah Kepulauan Riau) hingga tahun 1900. Tahun 1900 pusat pemerintahan dipindahkan Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II ke Pulau Penyengat yang juga di Kepulauan Riau.
Ketiga, Kesultanan Singapura didirikan Sultan Husein Syah, putra tertua Sultan Riau, Mahmud Riayat Syah tahun 1819 atas bantuan Inggris. Meski pernah terlibat konflik dengan adiknya, Sultan Riau, Sultan Abdurrahman, namun dalam menjalankan pemerintahan dan adat istiadat, pedomannya tetap pada Kesultanan Riau.
Keempat, tidak hanya Malaysia yang bisa mengklaim kepemilikan atas penguasaan wilayah pada masa lampau ini. Indonesia juga bisa mengklaim karena pada periode 1722, Kesultanan Riau yang berpusat di Hulu Riau wilayahnya mencakup Johor, Pahang dan Trengganu. Ketiga daerah termasuk Singapura menjadi daerah pegagangan atau daerah taklukan Kesultanan Riau.
Kelima, jauh sebelum adanya klaim kewilayahan seperti kali ini. Sultan Riau, Mahmud Muzaffar Syah (1843-1857) pernah meminta Inggris mengembalikan Pahang, Johor, dan Terengganu kepada Kesultanan Riau. Bahkan tahun 1852, Sultan Singapura dan Johor, Ali Iskandar Syah pernah hendak mengembalikan Singapura dan Johor kepada Riau.
Upaya ini gagal malahan Sultan Mahmud Muzzafar Syah dimakzulkan Belanda. Ia digantikan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.
Keenam, tidak hanya Kesultanan Riau yang pernah menguasai daerah semenanjung Melayu ini. Bukankah sebelumnya sudah ada Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit dan terakhir juga ada Kerajaan Bintan yang menjadikan daerah di Malaysia sekarang sebagai daerah taklukan.
Jika logika ini dipakai, bukankah Indonesia juga bisa mengklaim wilayah ini sebagian bagian dari Indonesia.
Ketujuh, pernyataan Dr M bisa juga dilihat dari sisi positif membangkitkan kesadaran sejarah atas masa lampau daerah ini. Penting sekali menulis ulang dan memberikan pemahaman bahwa sejarah Kepulauan Riau adalah bagian dari sejarah nasional Indonesia.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), keberadaan Kesultanan Riau dari periode 1722 hingga dibubarkannya Kesultanan Riau Lingga 1913 tidak mendapat tempat.
Di sisi lain, Kesultanan Riau melahirkan tiga pahlawan nasional, yakni Raja Haji Fisabilillah (1997), Raja Ali Haji (2004) dan Sultan Mahmud Riayat Syah (2017). Aneh memang, sejarah Kesultanan Riau tidak dicatat, namun pahlawannya diakui.
(pal/pal)