Pada pertengahan abad ke-17, sekelompok kecil pria di Inggris, alih-alih ikut serta dalam gelapnya panggung politik, mereka kemudian lebih memilih mencurahkan perhatiannya pada penelitian-penelitian ilmiah yang kemudian disebut dengan "experimental philoshopy". Mereka bertemu setiap minggunya untuk berdiskusi, berdebat, bekerjasama membahas tantangan-tantangan penelitian ilmiah dan melakukan eksperimen untuk mencari kebenaran.
Pertemuan-pertemuan tersebut kemudian melahirkan sebuah lembaga riset terkemuka dunia bernama Royal Society of London for Improving Natural Knowledge atau dikenal dengan Royal Society. Lembaga riset ini kemudian melahirkan ilmuan-ilmuan penting berbagai bidang ilmu. Mulai dari Robert Boyle, Isaac Newton, Charles Darwin, Albert Einsten, Stephen Hawking, sampai Tim Berners-Lee, sang penemu World Wide Web.
Kisah serupa muncul di belahan bumi yang lain, di Baghdad tepatnya, sekitar 9 abad sebelumnya. Kisahnya dimulai dari sebuah forum debat intelektual antara para sarjana dan ilmuan yang difasilitasi oleh Harun Ar-Rashid, sang khalifah kedua Dinasti Abbasiyah. Forum debat tersebut kemudian diinstitusikan dengan memperluas aktivitasnya menjadi sebuah kombinasi dari forum debat, perpustakaan, lembaga riset/akademi riset, dan biro penerjemahan oleh Khalifah Ma'mun pada tahun 830 M (Hitti, 2002).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lembaga tersebut kemudian dikenal dengan Bayt Al-Hikmah. Sebuah lembaga yang kemudian melahirkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Hunayn ibnu Ishaq, sampai Bapak Aljabar, al-Khawarizmi. Perjalanan Bayt Al-Hikmah kemudian diisi dengan kisah-kisah para peneliti dan hasil penelitian mereka yang luar biasa. Keterlibatan Khalifah Harun Ar-Rasyid hingga Khalifah Al-Ma'mun menandai hubungan yang harmonis antara penguasa dan lembaga penelitian.
Suatu hubungan yang kemudian menjadi salah satu strategi penting akan panjang dan heroiknya kisah lembaga riset ini. Pertanyaan besar yang kemudian mengemuka adalah selain hubungan harmonis dengan penguasa, faktor apa yang kemudian muncul dalam panjang dan heroiknya kisah perjalanan mereka?
Menengok ke Belakang untuk Melihat ke Depan >>>
MENENGOK KE BELAKANG UNTUK MELIHAT KE DEPAN
Beragam warna dapat dilihat dan dipelajari dari perjalanan Bayt Al-Hikmah. Mulai dari kiprah para penelitinya yang kemudian menjulang menjadi pioneer di berbagai bidang ilmu, jurnal-jurnal ataupun buku-buku yang diproduksi, kebutuhan akan infrastruktur dan dana riset yang tidak sedikit sampai kerjasama-kerjasama antarbidang yang dibangun dan dipertahankan hingga berabad-abad lamanya.
Kerjasama adalah strategi penting bagi sebuah lembaga riset. Tanpanya lembaga riset akan seperti katak dalam tempurung. Kerjasama bukan hanya akan meningkatkan kuantitas riset tetapi juga akan menciptakan inovasi. Cerita tentang pentingnya kerjasama ini dapat ditengok dari pengalaman Bayt Al-Hikmah.
Sebelum berdirinya Bayt Al-Hikmah, pada sekitar tahun 560 M telah berdiri sebuah lembaga atau akademi pengetahuan bergaya Alexandria di
Jundishapur (Iran). Lembaga yang didirikan oleh Pemimpin Persia, Khosrau I, ini dikenal sebagai lembaga pengetahuan terbesar pada masanya (Nakosteen, 1964). Lembaga inilah yang kemudian menurut Moneef Rafe' Zou'bi dan Mohd Hazim Shah adalah pelopor dari Bayt Al-Hikmah.
Salah satu argumen Moneef Rafe' Zou'bi dan Mohd Hazim Shah adalah adanya permintaan bantuan dari Khalifah Mansur, pendiri Dinasti Abbasiyah kepada ahli fisika terkemuka Jundishapur, Jirjis Bukhtyishu, pada tahun 765 M. Selain itu, menurut Syed Ameer Ali (1955), khalifah Al-Ma'mun juga dengan gigih mengoleksi tulisan-tulisan dari Akademi Alexandria dan karya-karya filsafat terbaik Yunani kuno dari Athena.
Catatan tersebut menunjukkan bahwa ada transfer pengetahuan yang telah berjalan selama beberapa dekade. Sebuah kondisi yang juga menunjukkan adanya keterhubungan dan kerjasama antarlembaga penelitian. Kerjasama inilah yang kemudian harus menjadi salah satu ruh dari lembaga riset di
Indonesia.
Kerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam ataupun luar negeri harus difokuskan dalam kerangka peningkatan kualitas dan kuantitas hasil riset. Peningkatan hasil riset ini kemudian akan berkait dengan pertanyaan besar selanjutnya, bagaimana kemudian mentransmisikan hasil riset tersebut?
DARI HULU KE HILIR
Lembaga riset adalah lembaga yang bukan hanya memproduksi berbagai hasil penelitian tetapi juga mentransferkan dan mempromosikannya ke berbagai pihak. Tanggung jawab promosi riset ini oleh Bayt Al-Hikmah diartikan dalam aktivitas penerjemahan sumber-sumber pengetahuan skala raksasa. Berbagai buku berbahasa Yunani, Suriah, dan Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Lerner, 1998).
Usaha ini kemudian berlanjut dengan kegiatan-kegiatan lain yang merupakan lanjutan dari kegiatan penerjemahan tersebut, yaitu penulisan, pentranskripsian, pembelajaran, pendokumentasian, dan menjadi tuan rumah forum dan debat ilmiah berbagai kalangan (Khalaf, 2001). Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang memang akan ada dan muncul dari sebuah usaha pentransmisian hasil riset.
Semua kegiatan pentransmisian tersebut tentunya dapat berjalan dengan dukungan infrastruktur dan dana yang tidak sedikit. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan lanjutan. Selain sumberdaya manusia, seberapa pentingkah infrastruktur dan dana dalam sebuah lembaga riset?
INFRASTRUKTUR, SDM, DAN PENDANAAN RISET YANG OPTIMAL
Infrastruktur riset adalah hal penting dalam mewujudkan ekosistem dan inovasi riset. Perannya dalam menunjang pelaksanaan dan penciptaan inovasi dalam riset menjadi kunci suksesnya perjalanan besar suatu lembaga riset. Bersama sumber daya manusia dan pendanaan, infrastruktur riset menjadi tiga kunci utama aktivitas riset kelas dunia. Tanpanya, keberadaan SDM yang berkualitas bagai pungguk merindukan bulan. Hanya sebuah angan.
Seperti kebanyakan lembaga riset yang ada, Bayt Al-Hikmah juga memiliki perhatian khusus terhadap infrastruktur dan pendanaan riset. Aktivitas penerjemahan skala raksasa yang dilakukan bukan hanya membutuhkan para penerjemah unggul dengan gaji yang besar, tetapi juga tempat-tempat khusus dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Dan perpustakaan megah yang menyimpan ribuan buku adalah bukti bagaimana infrastruktur di Bayt Al-
Hikmah menempati posisi penting.
Begitu pun dengan pendanaan. Perhatian Bayt Al-Hikmah terhadap pendanaan dapat dilihat dari usahanya untuk membentuk badan wakafnya sendiri (Khalaf, 2001). Uang yang terkumpul dalam satu bulannya bisa mencapai 20.000 dinar. Jumlah tersebut sebagian besar datang dari sang khalifah, menteri-menteri, dan para penasehatnya (Zou'bi, Moneef Rafe' dan Mohd Hazim Shah, 2017: 243). Selain itu, ada rekognisi yang muncul atas nama sang khalifah sendiri. Salah satu contohnya adalah pemberian sejumlah emas oleh Khalifah Ma'mun kepada Hunayn ibn Ishaq sebesar berat bukunya.
Infrasruktur dan pendanaan yang sepenuh hati ini diharapkan menjadi pengingat bagi lembaga-lembaga riset bahwa peneliti dan hasil penelitian kaliber internasional tidak muncul dari ruang kosong. Dia muncul dari infrastruktur dan pendanaan yang baik. Akhirnya, kemajuan sebuah lembaga riset adalah perpaduan berbagai faktor di dalamnya. Mulai dari kerjasama yang mahaluas, SDM, infrastruktur, dan pendanaan yang baik, serta hilirisasi hasil riset yang bisa menjangkau berbagai kalangan.
Pengalaman Bayt al-Hikmah setidaknya memberikan sebuah gambaran bagaimana sebuah lembaga penelitian bisa menjadi bahtera besar di mana jangkar, kemudi, dan layarnya terbuat dari bahan terbaik dan bisa bekerja dengan harmonis.
Simak Video "RSUD Ibnu Sina Ungkap Hasil Visum Penadah HP yang Diisukan Dianiaya Polisi"
[Gambas:Video 20detik]
(pal/pal)