Membuka Sekat Penelitian di Wilayah Perbatasan Melalui BRIN

ADVERTISEMENT

Belajar dari Pakar

Membuka Sekat Penelitian di Wilayah Perbatasan Melalui BRIN

Dedi Arman - detikEdu
Kamis, 02 Jun 2022 08:00 WIB
Dedi Arman
Dedi Arman
Dedi Arman lahir di Kabupaten Agam (Sumatra Barat), 24 November 1979. Pendidikan S1 diselesaikan pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas (Padang), 2003 dan S2 Magister Manajemen di Unrika Batam (2021). Pernah berkecimpung sebagai jurnalis periode 2002-2014 di Padang dan Kepri. Sejak 2014 bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri. Kini bekerja di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Aktif menulis artikel di surat kabar lokal yang ada di Kepri. Selain itu juga menulis di sejumlah jurnal nasional. Sejumlah buku telah dihasilkan, diantaranya: Biografi Sultan Abdurrahman Syah I (2019), Asal Usul Nama Kampung (Toponimi) Kabupaten Lingga (2017), Kajian Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Laut Kabupaten Lingga (2018), Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVIII (2017), Orang Laut dan Potret Kerukunan Keragama di Kepri (2018) dan Dari Pengujan hingga Pulau Buru, Rampai Sejarah Budaya (2018). Ikut menulis buku rampai Menolak Wabah. Suara-Suara dari Manuskrip, Relief, Khazanah Rempah dan Ritual Nusantara diterbitkan Penerbit Ombak (2020). Tim penulis buku Tradisi Ketupat Lepas di Desa Kudung, Lingga (2020) diterbitkan Disbud Lingga. Tim penulis buku Rumah Dunia Melayu: Sejarah Pelabuhan di Pulau Bintan Abad 13-19 yang diterbitkan Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud (2020)
Wilayah terluar Indonesia di Merauke yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini berada di distrik Sota. Yuk kita lihat kondisinya.
Salah satu wilayah perbatasan RI di paling timur Indonesia (detikFoto)
Jakarta -

Kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor Tahun 2021 membawa angin segar dan harapan baru bagi para peneliti yang bertugas di daerah, khususnya di wilayah perbatasan.

Harapan baru ditumpangkan kepada BRIN didasarkan dari pengalaman penulis sebagai eks peneliti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas di satuan kerja (Satker) yang berada di wilayah perbatasan, Provinsi Kepulauan Riau. Banyak sekat atau batasan yang menjadi kendala dengan sistem penelitian yang diterapkan selama ini.

Nasib Peneliti di Daerah

Ada sejumlah kendala atau keterbatasan yang dihadapi peneliti Kemdikbud yang bertugas di wilayah perbatasan Provinsi Kepulauan Riau.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, tidak ada penelitian kolaborasi. Di wilayah Kepri, satker Kemdikbud yang memiliki fungsi dalam penelitian adalah Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri, Kantor Bahasa Kepri dan juga Balar Arkeologi Sumatra Utara yang wilayah kerjanya membawahi Kepri.

Sepanjang pengetahuan penulis nyaris tidak ada kolaborasi dalam penelitian antara ketiga satker. Meski tidak ada aturan tertulis, namun dalam penelitian ada semacam larangan melibatkan pihak lain dalam penelitian baik itu dari satker lain atau dari perguruan tinggi.

ADVERTISEMENT

Kedua, pembatasan wilayah penelitian. Provinsi Kepri berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Sebelum Covid 19, setiap hari dari pelabuhan wilayah Provinsi Kepri, seperti Batam, Tanjungpinang dan Karimun banyak jadwal pelayaran menuju ke Malaysia dan Singapura. Harga tiket kapalnya jauh lebih murah dari harga tiket pesawat dari Kepri ke Jakarta, Padang atau Pekanbaru.

Permasalahannya adalah peneliti yang bertugas di Kepri tidak bisa melakukan penelitian ke Malaysia dan Singapura dengan alasan bukan wilayah penelitian dan statusnya luar negeri yang membutuhkan perizinan yang rumit di Jakarta. Padahal dari segi isu atau tema penelitian kesejarahan dan budaya begitu banyak yang mau diangkat dan biayanya jauh lebih murah.

Dalam sejarahnya, Provinsi Kepri, bersama Malaysia dan Singapura sejak abad 15 hingga tahun 1824 berada dalam kemaharajan Malaka yang dilanjutkan Kerajaan Johor Riau Lingga dan Pahang. Hubungan masyarakat semenanjung Melayu ini begitu dekat dan hanya administrasi yang memisahkan. Orang Batam, Tanjungpinang dan Karimun banyak memiliki saudara di Malaysia dan Singapura dan begitu juga sebaliknya.

Penelitian lintas wilayah dan berbentuk kolaborasi juga tidak bisa dilakukan. Misalnya, peneliti yang bertugas di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau yang melakukan penelitian lada, tidak bisa melakukan kolaborasi dengan peneliti yang bertugas di Kalimantan Barat dan Lampung yang juga melakukan penelitian tentang lada.

Termasuk juga misalnya peneliti dari BPNB Sulawesi Selatan yang meneliti diaspora Bugis ke Indonesia bagian barat tidak bisa melakukan penelitian ke Kepri, Jambi, Riau maupun Bangka Belitung yang penduduknya dihuni etnik Bugis.

Ketiga, waktu penelitian yang minim. Waktu penelitian para peneliti untuk melakukan penelitian di lapangan juga sangat dibatasi berkisar antara 8-12 hari. Waktu penelitian yang relatif singkat berdampak pada hasil penelitian yang tidak optimal.

Di Provinsi Kepri, penelitian di daerah perbatasan bagian utara seperti Natuna dan Anambas sering mengalami kendala penerbangan dan pelayaran kapal yang sering tidak pasti. Apalagi pada saat musim tertentu gelombang laut tinggi, kapal tidak diizinkan berlayar. Bayangkan kalau waktu penelitian hanya dibatasi 8-12 hari. Waktu banyak terbuang hanya untuk perjalanan pulang pergi (PP) ke lokasi penelitian.

Keempat, minimnya anggaran penelitian. Anggaran penelitian di satker yang ada di daerah, persentasenya sangat kecil dibandingkan jumlah total anggaran. Hal ini disebabkan satker itu tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) memang tidak murni untuk penelitian. Mayoritas anggaran habis untuk kegiatan internalisasi, layanan perkantoran dan kepegawaian. Banyak yang menganggap mungkin alasan klise menjadikan minimnya anggaran sebagai kendala. Besaran anggaran penelitian kalau transportasinya menggunakan pesawat udara berkisar Rp12-14 juta. Ini sifatnya penelitian mandiri yang penelitinya hanya satu orang. Kalau penelitian dilakukan per tim yang beranggotakan dua atau tiga orang, anggaran penelitiannya tetap di bawah Rp30 juta.

Anggaran itu habis untuk akomodasi pesawat atau kapal, hotel atau penginapan, uang harian, uang narasumber dan biaya konsumsi saat diskusi terpumpun. Anggaran yang minim menjadi kendala tersendiri bagi peneliti dalam melakukan penggalian data di lapangan. Tidak ada anggaran untuk sewa mobil, sewa speedboat atau sampan yang sangat menunjang kinerja peneliti di daerah perbatasan.

Kelima, tema Penelitian Top Down. Tema penelitian setiap tahunnya ditentukan dari Kemdikbud dan tidak mempertimbangkan kepakaran peneliti. Setiap tahun tema penelitian cenderung berubah yang menyebabkan penelitian yang dilakukan peneliti setiap tahun juga berubah-ubah. Tidak ada kesinambungan atau penelitian berkelanjutan.

Tidak mengherankan hasil penelitian yang dihasilkan seorang peneliti jadi gado-gado. Misalnya tahun sekarang penelitian tentang kuliner, tahun depannya bisa penelitian maritim, biografis atau pers. Penelitian disesuaikan dengan tema yang sudah ditetapkan dari 'Jakarta'.

Keenam, tugas lain selain penelitian. Para peneliti yang bekerja di daerah lebih banyak mengurusi pekerja di luar tugas utamanya sebagai peneliti. Peneliti disibukkan dengan tugas lain sesuai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) instansi tempatnya bekerja. Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri lebih banyak kerjanya mengurusi kegiatan seremonial, seperti panitia seminar, panitia berbagai lomba, pembuatan film atau pun sosialisasi ke masyarakat.

Sementara, peneliti kantor bahasa disibukkan kegiatan seremonial seperti lomba puisi, lomba musikalisasi puisi, bengkel teater, seminar Bahasa Indonesia atau kegiatan seremonial lain.

Ketujuh, ketidakadilan tunjangan kinerja. Para peneliti yang bekerja di satker daerah mengalami kerugian dari segi penghasilan karena kebijakan dari Kemdikbud. Peneliti madya yang bertugas di satker yang kepalanya Eselon 3 seperti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, tunjangan kinerjanya dibayarkan grade 9. Posisinya setara dengan Tukin kepala sub bagian tata usaha (Kasubag TU). Peneliti dengan status ahli peneliti utama (APU) tunjangan kinerjanya dibayarkan grade 12 atau yang seharusnya untuk jabatan peneliti madya.

Di satker yang kepalanya Eselon 4 seperti Kantor Bahasa Kepri nasibnya lebih naas lagi. Peneliti hanya bisa pada tingkat peneliti pertama. Bagi yang ingin naik jenjang kariernya mesti harus keluar dari instansi tersebut. Hal ini di satu sisi mematikan karir peneliti yang ingin bertugas di wilayah perbatasan tersebut.

Selanjutnya, BRIN Sebuah Harapan Baru >>>

BRIN Sebuah Harapan Baru

Bergabung ke BRIN sebuah pilihan. Dari hampir 200-an peneliti di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud yang bergabung ke BRIN sekitar 70 an orang. Sebagian besar tetap di Kemdikbud beralih status menjadi pamong budaya.

Secara garis besar ada dua kelompok peneliti dari Kemdikbud yang bergabung ke BRIN. Pertama, peneliti madya yang usianya jelang 60 tahun. Mereka tidak jadi pamong budaya karena kendala umur yang harus pensiun umur 60 untuk pamong budaya madya. Kedua, peneliti yang ingin berkarier di lembaga baru yang diyakini bisa membawa harapan baru.

Bergabung di BRIN sejak 1 Januari 2022 lalu, hanya dalam waktu singkat sejumlah hal baru yang positif diperoleh. Penelitian kolaborasi yang diidamkan-idamkan bisa terlaksana.

Penulis bergabung dengan tim penelitian tentang perdagangan rempah yang melakukan penelitian dengan lokasi penelitian di tiga provinsi, yaitu Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Sumatra. Dari enam anggota tim penelitian, tiga dari BRIN dan tiga orang lagi dari perguruan tinggi, serta dari organisasi pelaku usaha.

Hal menarik lagi keenam tim peneliti memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, diantaranya sejarah, sosiologi, manajemen, ekonomi pembangunan, dan Sastra Inggris.

Selain dari segi penelitian kolaborasi, pola penelitian yang diberlakukan di BRIN juga menjadi daya tarik bagi penulis, mulai dari pembuatan proposal, seminar proposal dan pembagian kerja per anggota tim.

Di Kemdikbud, setiap peneliti setiap tahun mendapat 'jatah penelitian' dan proposal hanya formalis karena penelitian sudah pasti disetujui dan anggaran sudah ada. Sementara di BRIN, peneliti harus bersaing untuk mendapatkan anggaran penelitian. Disinilah dibutuhkan kepiawaian mengandeng sumber daya manusia yang berkualitas dan berkolaborasi untuk membuat proposal yang bagus sehingga lolos.

Pola kerja dengan sistem ruang kerja bersama atau co working space (CWS) juga menjadi sesuatu yang baru. Kebijakan CWS yang diterapkan BRIN, termasuk juga adanya pilihan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) berjalan baik.

Peneliti bisa fokus dalam tugas utamanya meneliti dengan output terbaik dan bisa dibaca, serta dimanfaatkan masyarakat. Ke depan harapannya, CWS semakin banyak.

Belum semua provinsi memiliki CWS BRIN, termasuk Provinsi Kepri. Pembayaran tunjangan kinerja di BRIN mengembirakan peneliti eks kementerian. Peneliti madya yang sebelumnya menerima tukin grade 9 atau setara peneliti muda, kini bisa senyum tukinnya dibayar sesuai jabatannya.

Begitu juga peneliti utama dari eks kementerian, mereka bisa tersenyum karena kenaikan penghasilan per bulannya. Pendek kata dari segi penghasilan, peneliti madya dan peneliti utama sudah memperoleh berkah sejak bergabung dengan BRIN.

Para peneliti yang masih berpendidikan Strata 1 (S1) atau S2 bergabung ke BRIN juga karena ada harapan, di BRIN akses untuk melanjutkan pendidikan lebih luas lagi. Dengan peningkatan pendidikan dan penelitian lebih fokus, harapan utamanya tentu karir jadi peneliti makin bagus. Karier moncer berdampak pada kesejahteraan para peneliti.

Ke depannya, BRIN diharapkan lebih besar lagi gaungnya. Memperbanyak CWS ke daerah-daerah agar BRIN lebih dikenal. Selain itu, juga diharapkan ada peningkatan anggaran dana penelitian . Wilayah dan kajian penelitian bisa diperluas.

Peneliti sebagai koki atau chef, nantinya bagian lain di BRIN yang akan menghidangkannya ke masyarakat agar bisa dinikmati dan bermanfaat.



Simak Video "Video Nyobain Animalium BRIN!"
[Gambas:Video 20detik]

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads