KPK Soroti Lemahnya Izin Tambak Udang di NTB

KPK Soroti Lemahnya Izin Tambak Udang di NTB

Ahmad Viqi - detikBali
Kamis, 09 Jan 2025 21:16 WIB
KPK menggelar Rapat Koordinasi Tata Kelola Pertambakan bersama jajaran OPD NTB di Gedung Graha Kantor Gubernur NTB, Kamis (9/1/2025).
KPK menggelar Rapat Koordinasi Tata Kelola Pertambakan bersama jajaran OPD NTB di Gedung Graha Kantor Gubernur NTB, Kamis (9/1/2025). (Foto: Ahmad Viqi/detikBali)
Mataram -

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti lemahnya pengelolaan izin pertambakan udang di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari 265 izin tambak yang diterbitkan, hanya 10 persen yang memiliki izin lingkungan.

Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Korsup V KPK, Dian Patria, menyebut NTB sebagai salah satu daerah penghasil udang terbesar di Indonesia. Namun, luas area laut yang terbatas menjadi tantangan besar.

"Kita tahu NTB penghasil udang terbesar. Padahal lautnya terbatas, lingkungan dan sebagainya," kata Dian saat rapat koordinasi tata kelola pertambakan di Gedung Graha Kantor Gubernur NTB, Kamis (9/1/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia sendiri merupakan negara penyumbang Shrimp Estate keempat di dunia, dengan sektor udang menyumbang 34 persen pendapatan kelautan. Dian mengingatkan bahwa NTB sebagai daerah pariwisata harus menjaga keseimbangan antara aktivitas tambak udang dan keberlanjutan lingkungan.

Data Perizinan yang Tidak Sinkron

Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu NTB, terdapat 265 izin tambak udang yang diterbitkan. Namun, data ini berbeda dengan Dinas Kelautan dan Perikanan yang mencatat 197 izin, serta Dinas Lingkungan Hidup yang hanya mencatat 33 izin lingkungan.

ADVERTISEMENT

"Jumlah izin tambak harus sama juga dengan izin pemanfaatan laut dan lingkungan. (Kenyataannya) tadi saya lihat izin lingkungan tidak sampai 10 persen dari 265 izin," tegas Dian.

KPK juga menemukan bahwa banyak tambak udang di NTB tidak memiliki izin lingkungan atau Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Dian menegaskan bahwa sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021, pembangunan tambak udang harus memenuhi persyaratan cara budidaya ikan yang baik (CBIB).

Dia meminta minta data izin tambak disamakan, termasuk nama pengusaha, lokasi, dan kepatuhan pembayaran pajak.

Dian menduga adanya permainan dalam penerbitan izin tambak udang. Dari produksi udang NTB yang mencapai 2 juta ton antara 2019 dan 2024, banyak tambak yang disinyalir ilegal karena dokumen perizinan tidak lengkap. Kurang dari 10 persen yang dinyatakan lengkap.

"Bisa mengarah ke tipikor? Kalau tipikor pasti ada kerugian negara. Pasti ada keterlibatan penyelenggara negara pejabat. Jadi dalam-anomali saya melihat ada pembiaran yang mungkin dilakukan dan ada yang menikmati," tandasnya.

Pemda Keluhkan Dampak Tambak Udang

Sekretaris Daerah Kabupaten Sumbawa, Budi Prasetyo, mengungkapkan banyaknya tambak udang yang merusak lingkungan di wilayahnya. Dari total 1.018 tambak, sebagian besar merupakan tambak tradisional tanpa izin.

"Tidak ada satu pun tambak (di Sumbawa) yang memiliki AMDAL," kaa Budi.

Ironinya, kerusakan lingkungan sudah terjadi, sementara dana bagi hasil yang diterima daerah sangat minim. "Itu sangat sedikit. Hanya 3 persen lebih," katanya

Sementara itu, Pj Bupati Lombok Timur, Juani Taofik, menyoroti dampak negatif tambak udang terhadap lingkungan di wilayahnya. Dari 51 tambak udang yang tersebar di Lombok Timur, hanya sebagian yang memiliki izin resmi.

Sejak ditetapkan menjadi daerah superprioritas pengembangan tambak udang di Lombok Timur, beberapa investor mulai datang untuk membangun tambak udang.

"Dari regulasinya kan sesuai dengan UU Nomor 1 tahun 2022 di sana kan tidak ada ruang bagi kabupaten tidak mendapatkan PAD. Tapi ada manfaat tidak secara langsung karena banyak masyarakat bekerja di sana," katanya.

Adapun dampak negatif maraknya tambak udang di Lombok Timur, tentu ruang laut di Lombok Timur menjadi berkurang drastis. Selain itu keberadaan tambak udang juga kerap mencemari lingkungan.

Dia mendorong agar pemerintah merevisi rencana detail tata ruang (RDTR) untuk mengantisipasi adanya konflik akibat aktivitas tambak.




(dpw/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads