Pengadilan Negeri (PN) Mataram menyayangkan aksi warga yang mengintimidasi dan mengusir petugas juru sita saat pengukuran lahan sengketa seluas 5,6 hektare di Gili Sudak, Desa Sekotong Barat, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Walhasil, proses pencocokan objek sebelum pelaksanaan eksekusi lahan tersebut ditunda.
"Jadi kemarin itu akan diadakan konstatering atau pengukuran dan melihat lokasi obyek eksekusi oleh juru sita. Konstatering gagal karena dicegat oleh pihak tereksekusi dengan membawa senjata tajam," kata Humas Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo saat dihubungi detikBali, Jumat malam (22/3/2024).
Kelik mengaku masih menunggu perintah Kepala PN Mataram untuk melakukan pengukuran lahan susulan. Ia menegaskan proses eksekusi lahan yang diajukan oleh pihak pemohon, Muksin Mahsun, harus diawali pencocokan batas lahan. Menurutnya, masyarakat tidak perlu bersikap berlebihan terhadap kegiatan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masyarakat tidak perlu ikut campur. Ini sudah ada putusan hukumnya. Mari kita harus patuhi putusan pengadilan," imbuh Kelik.
Sebelumnya, puluhan warga menolak eksekusi lahan sengketa seluas 5,6 hektare di Gili Sudak, Kamis (21/3/2024). Mereka mengusir petugas PN Mataram dan menuding adanya praktik mafia tanah di kawasan tersebut.
Kurniadi, kuasa hukum pemilik lahan 0,43 hektare di Gili Sudak bernama Awanadhi Aswinabawa menuding eksekusi lahan seluas 5,6 hektare yang diklaim milik Muksin Mahsun bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya, surat penetapan konstatering yang dikeluarkan oleh PN Mataram Nomor: 142/Pdt.G/2019/PN.Mtr tanggal 24 Januari 2024 itu lemah.
Kurniadi mengatakan gugatan yang diajukan oleh Muksin Mahsun untuk menguasai lima bidang tanah milik Awanadhi Aswinabawa seluas 0,43 hektare, Debora Susanto (0,98 hektare), Baiq Nulia Sodari (3,1 hektare), dan HGB milik PT Pijak Pilar (1 hektare) itu cacat hukum. Ia menilai gugatan pertama Muksin Makhsun tidak mencantumkan luas tanah secara tepat dan batas objek tanah yang disengketakan dengan lima pemilik tanah.
"Jadi tahapan eksekusi oleh Muksin Mahsun berdasarkan hasil peninjauan kembali tahun 2023 itu tidak sah. Karena kami duga ini akta jual beli tanah milik Muksin Mahsun cacat hukum," kata Kurniadi, Kamis.
Kurniadi menjelaskan awal mula kliennya, Awanadhi, menguasai tanah lokasi tujuh kamar vila di Gili Sudak tersebut. Ia mengeklaim Awanadhi memperoleh tanah dengan cara sah. Dia membeli tanah tersebut dalam kondisi bersertifikat pada 2005 dari warga Gerung, Lombok Barat.
Sementara itu, Hendi Ronanto selaku penasihat hukum Muksin Mahsun menyesali sikap warga yang menolak kedatangan tim juru sita dari PN Mataram. "Tidak benar kami akan lakukan eksekusi. Kami hanya melakukan penyesuaian data lapangan dan berkas terkait batas-batas tanah," kata Hendi saat dihubungi melalui WhatsApp, Kamis.
Hendi mengeklaim kliennya menguasai tanah seluas 5,6 hektare itu secara sah dan diakui negara. Menurutnya, orang tua Muksin Mahsun membeli tanah dari seorang warga bernama Maksum dari Daeng Kasim pemilik pertama pada 1974.
"Lalu tanah ini digarap oleh Lalu Serinata dan Gazali. Keduanya ini kan sudah bersumpah di pengadilan," imbuh Hendi.
Hendi meminta masyarakat Desa Sekotong Barat untuk menaati perintah hukum yang dikeluarkan oleh PN Mataram. Dia juga meminta mereka untuk tidak main hakim sendiri.
(iws/hsa)