Puluhan warga menolak eksekusi lahan sengketa seluas 5,6 hektare di Gili Sudak, Dusun Medang, Desa Sekotong Barat, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (21/3/2024). Mereka mengusir petugas Pengadilan Negeri (PN) Mataram dan menuding adanya praktik mafia tanah di kawasan tersebut.
Salah satu warga setempat, Wil Ahmad (25), menentang eksekusi lahan di Gili Sudak. Ia menilai kisruh kepemilikan tanah ini bisa menggangu aktivitas wisatawan yang berlibur di Gili Sudak, Kedis, dan Gili Nanggu.
"Pulau ini tidak boleh dikuasi orang luar karena di sini mata pencaharian masyarakat di Sekotong," ujar Ahmad seusai mengusir petugas PN Mataram bersama pihak penggugat Muksin Mahsun, Kamis siang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kurniadi, kuasa hukum pemilik lahan 0,43 hektare di Gili Sudak bernama Awanadhi Aswinabawa menuding eksekusi lahan seluas 5,6 hektare yang diklaim milik Muksin Mahsun bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya, surat penetapan konstatering yang dikeluarkan oleh PN Mataram Nomor: 142/Pdt.G/2019/PN.Mtr tanggal 24 Januari 2024 itu lemah.
"Ini prematur. Jadi pihak penggugat belum bisa melakukan eksekusi karena ada lima pemilik lahan sedang berupaya melakukan verzet kepada penggugat Muksin Mahsun pria asal Jakarta Selatan itu," ujar Kurniadi ditemui di Gili Sudak, Sekotong.
Kurniadi mengatakan gugatan yang diajukan oleh Muksin Mahsun untuk menguasai lima bidang tanah milik Awanadhi Aswinabawa seluas 0,43 hektare, Debora Susanto (0,98 hektare), Baiq Nulia Sodari (3,1 hektare), dan HGB milik PT Pijak Pilar (1 hektare) itu cacat hukum. Ia menilai gugatan pertama Muksin Makhsun tidak mencantumkan luas tanah secara tepat dan batas objek tanah yang disengketakan dengan lima pemilik tanah.
"Jadi tahapan eksekusi oleh Muksin Mahsun berdasarkan hasil peninjauan kembali tahun 2023 itu tidak sah. Karena kami duga ini akta jual beli tanah milik Muksin Mahsun cacat hukum," imbuhnya.
Kurniadi menjelaskan awal mula kliennya, Awanadhi, menguasai tanah lokasi tujuh kamar vila di Gili Sudak tersebut. Ia mengeklaim Awanadhi memperoleh tanah dengan cara sah. Dia membeli tanah tersebut dalam kondisi bersertifikat pada 2005 dari warga Gerung, Lombok Barat.
"Jadi selama itu sampai 2012 tidak yang keberatan sampai membangun vila tahun 2015. Tapi tiba-tiba tahun 2017 Muksin Mahsun ini datang menguasai tanah atas dasar jual beli yang dilakukan tahun 1974 lalu," ujarnya.
"Intinya masyarakat akan tetap bergerak. Menolak ekseskusi tanah ini dan kami akan turun menjaga tanah ini," ujarnya.
Hendi Ronanto, penasihat hukum Muksin Mahsun, menyesali sikap warga yang menolak kedatangan tim juru sita dari PN Mataram. "Tidak benar kami akan lakukan eksekusi. Kami hanya melakukan penyesuaian data lapangan dan berkas terkait batas-batas tanah," kata Hendi saat dihubungi melalui WhatsApp.
Hendi mengeklaim kliennya menguasai tanah seluas 5,6 hektare itu secara sah dan diakui negara. Menurutnya, orang tua Muksin Mahsun membeli tanah dari seorang warga bernama Maksum dari Daeng Kasim pemilik pertama pada 1974.
"Lalu tanah ini digarap oleh Lalu Serinata dan Gazali. Keduanya ini kan sudah bersumpah di pengadilan," imbuh Hendi.
Hendi meminta masyarakat Desa Sekotong Barat untuk menaati perintah hukum yang dikeluarkan oleh PN Mataram. Dia juga meminta mereka untuk tidak main hakim sendiri.
Juru Bicara PN Mataram Kelik Trimargo belum mengetahui adanya pengusiran juru sita PN Mataram ketika melakukan konstatering lahan di Gili Sudak, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. "Saya belum dapat info dari juru sita terkait itu. Coba saya tanyakan besok karena saya juga belum dapat info kegiatan tadi," kata Kelik singkat.
(iws/gsp)