Langgar berdinding kayu berkelir kuning itu berdiri di RT 14, RW 06, Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kayu-kayu penopang langgar panggung tersebut terkelupas di sana-sini dan atap sengnya berkarat.
Surau kecil itu bernama Langgar Melayu Kuno. Pengelola Langgar Melayu Kuno, Rahmi, menjelaskan tidak ada yang berubah sejak surau itu dibangun pada 1608.
Sayangnya, sebagian bagunan langgar mulai rusak seperti atap yang bocor. "Kalau hujan besar, karpetnya harus dilipat dulu," kata Rahmi kepada detikBali, Minggu (17/3/2024) sore.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rahmi mengungkapkan Langgar Melayu Kuno baru sekali direnovasi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bima pada 2019. Perbaikan itu hanya meliputi pembangunan tembok, pagar, paving halaman, hingga pembangunan toilet.
Langgar Melayu Kuno yang berdiri di tanah seluas 400 meter persegi tersebut sudah berstatus cagar budaya. Sebuah plang putih bertuliskan "Dilindung" berdiri di tepi surau tersebut.
"Sejak saat itu tidak ada lagi (perbaikan). Toilet umum harus diperbaiki karena tidak layak lagi dipakai, sudah tersumbat," ujar perempuan berusia 30 tahun tersebut.
Sejarah Langgar Melayu Kuno
Rahmi menerangkan Langgar Melayu Kuno yang bisa menampung 50 jemaah untuk salat itu dibangun pada tahun 1608. Hal itu pertanda mulai masuknya peradaban Islam di wilayah Bima.
"Langgar Kuno ini adalah masjid pertama di Bima," ujarnya yang mendapat cerita itu turun-temurun.
Sampai saat ini sosok yang pertama yang membangun Langgar Melayu Kuno itu masih misterius. Namun, dalam catatan sejarah, di sekitar Langgar Melayu Kuno ada sebuah dermaga atau pelabuhan yang menjadi persinggahan pedagang hingga mubalig yang menyiarkan Islam.
"Jadi dulu, di sini jadi pusat perdagangan karena ada pelabuhan. Para pedagang dari Arab dan Makassar singgah ke sini, sehingga dibangun langgar atau musala kecil ini," katanya.
![]() |
Rahmi menambahkan jejak pedagang dari Arab dan Makassar itu sampai sekarang masih ada. Yakni banyaknya keturunan Makassar hingga Arab yang tinggal di sekitar lokasi Langgar Melayu Kuno yang rata-rata pedagang.
"Warga di sini campuran, ada yang dari keturunan kesultanan Bima, orang Arab hingga Makassar," imbuh Rahmi.
Sempat Terbengkalai
Rahmi menceritakan Langgar Melayu Kuno itu sempat terbengkalai cukup lama, bahkan pernah menjadi kandang hewan ternak milik warga. Hal itu lantaran tidak ada yang menjaga dan Langgar kuno saat itu belum memiliki pagar.
"Sempat terbengkalai cukup lama dan bertahun-tahun. Dipenuhi kotoran hewan ternak," ujarnya.
Kakek dan neneknya kala itu terpanggil untuk membersihkan langgar tersebut. Seusai dibersihkan, surau tua itu selanjutnya dikelola secara turun-temurun oleh keluarganya hingga sekarang.
"Saya dan kakak bernama Munadir (40) adalah generasi ketiga yang mengelola Langgar Kuno ini setelah ibu- bapak dan kakek-nenek saya" katanya.
Sekarang Jadi TPQ
Sejak dikelola secara swadaya, Langgar Melayu Kuno tidak lagi digunakan untuk salat. Namun, dijadikan Taman Pendidikan Quran (TPQ) bagi anak-anak di lingkungan sekitar.
Rahmi tidak mengetahui waktu peralihan Langgar Melayu Kuno dijadikan TPQ untuk mengajar 20-30 anak mengaji. "Sudah lama tak dipakai untuk salat, tapi sudah lama berfungsi untuk TPQ," ujarnya.
Rahmi mengatakan tidak ada perbedaan aktivitas Langgar Melayu Kuno saat Ramadan dan bulan lainnya. Namun, saat puasa kegiatan mengaji akan dilakukan sore setelah salat ashar. Sedangkan hari biasa dimulai malam atau setelah isya.
(gsp/hsa)