Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), akan memungut pajak hotel dan restoran terhadap ratusan kapal wisata yang beroperasi di perairan Kabupaten Manggarai Barat mulai Januari 2024. Pungutan pajak tersebut sama seperti pajak hotel dan restoran yang ada di daratan selama ini, yang mulai tahun depan nomenklaturnya berubah menjadi pajak jasa akomodasi perhotelan dan makan minum.
Pelaku pariwisata di Labuan Bajo mengaku kecewa karena tidak dilibatkan dalam pembahasan soal pungutan pajak itu. Sosialisasi kepada pelaku usaha juga belum dilakukan pemerintah.
"Penetapan 10 persen dari bruto, hitungannya gimana?" kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (Gahawisri) Labuan Bajo, Budi Widjaja, Rabu (13/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain tak dilibatkan untuk membahasa secara komprehensif penetapan pajak
jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum terhadap kapal wisata saat pembahasan Ranperda, Budi juga menyayangkan tak ada sosialisasi rencana pemungutan pajak tersebut. "Tidak ada sosialisasi," tegas Budi.
Dia juga mempertanyakan dasar hukum Pemkab Manggarai Barat memungut pajak jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum terhadap kapal wisata yang hanya mengacu pada Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Menurut dia, ketentuan secara nasional bahwa operasional kapal di perairan menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan. Dalam Undang-Undang tentang Pelayaran, jelas dia, kapal pinisi yang disebut sebagai kapal wisata di Labuan Bajo, diatur sebagai pelayaran rakyat. Kapal pinisi ini bisa berlabuh ke banyak pelabuhan termasuk perairan Labuan Bajo.
Ia melanjutkan kapal wisata seperti pinisi di Labuan Bajo tidak berdiam di tempat sehingga dianggap sebagai hotel. Karena kapal wisata itu berlayar hingga keluar dari 12 mil maka kapal itu disebut moda transportasi penumpang sehingga tidak bisa dipungut pajak hotel dan restorannya. "Kapal pinisi ini moda transportasi, bukan hotel, tidak ada pajak hotel," tegas Budi.
Menurut dia, kalau pemerintah Manggarai Barat paksakan pungutan pajak jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum terhadap kapal wisata itu, bukan tidak mungkin ada kapal wisata yang minggat dari Labuan Bajo. "Kalau dipaksakan kapal pergi dari Labuan Bajo. Itu dampak negatifnya, kapal wisata bisa pindah," tandas Budi.
Sebelumnya Kepala Bapenda Kabupaten Manggarai Barat Maria Yuliana Rotok menjelaskan pajak jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum kapal wisata itu dipungut sebesar 10 persen dari biaya jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum di atas kapal. Besar Pajak ini sama seperti pajak hotel dan restoran yang berlaku di hotel dan restoran di daratan selama ini.
Leli-sapaanya- menjelaskan mekanisme penghitungan 10 persen pajak kapal wisata itu dihitung dari harga jual paket wisata kapal tersebut. Dalam harga paket wisata kapal tertera biaya makan minum dan jasa penginapan. Pajak dipungut 10 persen dari biaya makan minum dan jasa penginapan di kapal dalan harga paket wisata tersebut.
"Dihitung dari harga jual paket wisata (kapal wisata). Berapa persen untuk membiayai makan minum dan penginapan baru dihitung 10 persen," jelas Leli.
Ia menjelaskan kapal wisata menjadi objek pajak jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum seperti hotel dan restoran di daratan karena wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo lebih banyak menginap dan makan minum di kapal wisata.
"Kalau melihat data yang dikeluarkan BPS kita melihat okupansi atau lama menginap wisatawan di hotel yang ada di darat itu kita lihat 1-2 hari. Kita berasumsi tidak mungkin wisatawan datang langsung pulang, selisih harinya ini mereka ada di mana, pastilah mereka ada di penginapan kapal wisata," ungkap Leli.
Sejauh ini Bapenda Manggarai Barat telah mendata 419 kapal wisata dari total 700 lebih kapal wisata yang beroperasi di perairan Labuan Bajo yang bakal dibidik untuk dipungut pajak jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum. Kapal-kapal lain masih dalam proses pendataan.
(dpw/dpw)