Cerita Wamenkumham Dipanggil Jokowi karena Pasal Penghinaan Presiden

Mataram

Cerita Wamenkumham Dipanggil Jokowi karena Pasal Penghinaan Presiden

Ahmad Viqi - detikBali
Kamis, 13 Jul 2023 14:40 WIB
Wamenkumham Eddy Hiariej mengaku Presiden Jokowi mempertanyakannya soal Pasal 218 tentang penghinaan terhadap kepala negara. Hal itu diungkapkan di acara Kumham Goes to Campus di Unram, Kamis (13/7/2023).
Wamenkumham Eddy Hiariej mengaku Presiden Jokowi mempertanyakannya soal Pasal 218 tentang penghinaan terhadap kepala negara. Hal itu diungkapkan di acara Kumham Goes to Campus di Unram, Kamis (13/7/2023). (Ahmad Viqi/detikBali).
Mataram -

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengaku sempat dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat itu, Eddy ditanya mengenai dua pasal dalam KUHP baru sebelum disahkan menjadi Undang-Undang KUHP pada awal tahun ini.

Pertama, Pasal 100 tentang pidana mati. Kedua, Pasal 218 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Pasal tersebut sempat menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

"Saya dipanggil Presiden (Jokowi) waktu itu. Beliau bilang, saya ini kalau dihina juga tidak apa-apa," tuturnya saat menjawab pertanyaan mahasiswa dalam acara Kumham Goes to Campus di Universitas Mataram, Kamis (13/7/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tetapi, Eddy berdalih dengan menegaskan bahwa salah satu fungsi hukum pidana adalah melindungi individu, masyarakat, serta negara.

"Yang dilindungi apa? Kalau individu itu nyawanya, tubuhnya, propertinya, dan martabatnya. Makanya, timbul pasal-pasal, seperti pencemaran nama baik di dalam KUHP baru itu," tegas Eddy.

ADVERTISEMENT

Sementara, ia melanjutkan, yang dilindungi dari suatu negara adalah kedaulatannya, martabat kepala negaranya, termasuk warga negaranya. "Penyerangan harkat martabat kepala negara asing itu dilindungi oleh KUHP, terus KUHP kita tidak? Apa logis?" tanyanya.

"Kepala negara asing dilindungi, masa kepala negara sendiri tidak dilindungi oleh KUHP?" lanjut Eddy seraya memastikan bahwa Pasal 218 Undang-Undang KUHP Nomor 1 Tahun 2023 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak akan menghalangi kebebasan publik berekspresi.

Kendati demikian, Eddy mengakui, dua pasal tentang pidana mati dan penghinaan terhadap presiden juga alot saat dibahas dan menjadi perdebatan di DPR.

Bahkan, sambung Eddy, Jokowi sendiri mempertanyakan pasal penghinaan terhadap presiden bukan karena masalah hukum. Melainkan, masalah politik.

Tidak cuma itu, terkait pasal pidana mati pun, Eddy menuturkan, kajiannya sudah dilakukan mendalam. "Hasil penelitian, 83 persen orang setuju pasal itu ditetapkan. Teroris, 80 persen orang sepakat dihukum mati. Bandar narkoba, 63 persen orang sepakat (dihukum mati)," katanya.

Malah Eddy berbalik bertanya, apabila teroris atau bandar narkoba tidak dihukum mati, maka ada suara masyarakat yang hilang.

Karenanya, KUHP baru ini ditujukan untuk mencegah hukum pidana singkat. "Tidak ada lagi itu penjara 1 tahun, 2 tahun. Menjatuhkan pidana penjara itu ya di atas 5 tahun," jelasnya.

Di sisi lain, KUHP baru yang akan diterapkan pada 2026 mendatang akan menjadi alternatif pidana. Yaitu, kejahatan yang pidananya tidak lebih dari lima tahun atau pidana ringan bisa dimodifikasi dengan pidana pengawasan.

"Kalau tindak pidana yang ancamannya tidak lebih dari tiga tahun, misalnya, hukumannya kerja sosial. Jadi, dengan KUHP Nasional itu, jangan lagi berpikir sedikit-sedikit penjara. Ini sekaligus memberi peran serta kepala lapas dan bapas di masing-masing daerah," tandas Eddy.




(BIR/hsa)

Hide Ads