Kasus dugaan pencabulan 41 santriwati oleh pimpinan pondok pesantren berinisial HSN di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih bergulir. Kuasa hukum HSN, Victor Sitanggang, membantah kliennya memerkosa puluhan santriwatinya.
Victor menuding penetapan tersangka terhadap HSN janggal. Menurutnya, polisi tidak bisa menunjukkan dua alat bukti sebagai syarat penetapan tersangka.
"Jangan berlarut-larut ini jadi konsumsi liar di tengah publik, yang mengakibatkan ruginya seseorang, yaitu pembunuhan karakter," kata Victor di Mataram, Kamis pagi (8/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Victor menyebut kliennya yang seorang pemilik pondok pesantren sebagai orang baik-baik. HSN, Victor melanjutkan, memiliki anak dan istri sehingga tidak mungkin memerkosa para santriwatinya. Menurutnya, pondok pesantren tersebut juga diawasi oleh pengasuh pondok, termasuk istri dan anak HSN.
"Banyak media menuduh HSN melakukan pemerkosaan puluhan orang. Tidak benar semua itu," imbuhnya.
Victor mengatakan penetapan tersangka terhadap HSN tidak tepat. Ia beralasan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dan HSN tidak memenuhi unsur pidana seperti yang dituduhkan. Ia pun meminta penyidik untuk melakukan gelar perkara khusus.
"Kami minta gelar khusus. Satu kami akan siapkan BAP saksi dan pelaku. Karena BAP itu kan selalu mengarah ke peristiwa kejadian dan tempat kejadian," kata Victor.
Terkait tuduhan HSN memerkosa 41 santriwati sejak 2016, Victor menduga polisi keliru. Ia berasumsi pemerkosaan terhadap puluhan santriwati itu dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren lainnya berinisial LMI yang juga sudah ditetapkan tersangka. "Seolah-olah itu dilakukan oleh HSN," ujarnya.
Sementara itu, Kabidhumas Polda NTB Kombes Arman Asrama Syaripudin menegaskan tidak akan melakukan gelar perkara khusus terkait kasus itu. Ia pun mempersilakan HSN dan tim kuasa hukumya mengajukan praperadilan. Menurutnya, kasus tersebut ditangani oleh Polres Lombok Timur.
"Sesuai aturan itu kalau dalam penetapan tersangka cacat menurut mereka, silakan persepsikan. Bagaimana mau gelar khusus? Saya pikir itu tidak ada dalam aturan," ujar Arman, Kamis siang.
"Kasus ini ditangani oleh Polres Lombok Timur ya. Kami hanya asistensi saja," pungkas Arman.
Dua pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, NTB berinisial HSN dan LMI melakukan beragam cara guna melancarkan aksi bejat memperkosa puluhan santriwati. Modus-modus tersebut jelas menyimpang dari ajaran agama. Sampai saat ini tercatat ada 41 santriwati jadi korban.
HSN dan LMI diduga melakukan beragam cara guna melancarkan aksi bejat memerkosa puluhan santriwati. Salah satu modus yang dilakukan oleh HSN adalah membuka kelas pengajian seks. Hal ini diungkapkan oleh Badaruddin, Ketua Lembaga Studi Bantuan Hukum NTB sekaligus kuasa hukum puluhan santriwati korban pencabulan.
Menurutnya, HSN memberikan pengajian seks khusus bagi santriwati yang tinggal di pondok. Kemudian, santriwati yang diincar jadi korban dikelompokkan ikut dalam materi pengajian tentang hubungan intim suami-istri.
"Dikelompokkan di situ. Jadi, satu rombongan ngaji di satu ruangan. Karena tidak semua diberikan pengajian soal hubungan suami istri kan. Nah, korban ini mengaku pernah ikut pengajian tersebut," kata Badaruddin, Senin (22/5/2023).
(iws/BIR)