Erupsi tersebut menyebabkan beberapa maskapai penerbangan membatalkan keberangkatannya. Berikut informasi mengenai Gunung Ile Lewotolok yang dirangkum detikBali dari berbagai sumber.
LOKASI
Gunung Ile Lewotolok atau yang kerap disebut Ile Ape merupakan salah satu gunung berapi dengan status aktif. Mengutip dari laman esdm.go.id, gunung yang memiliki ketinggian 1.455 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini terletak di Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT.
Untuk mencapai ke gunung ini, Anda perlu melakukan perjalanan yang ditempuh dengan jarak sekitar 15,5 kilometer dan waktu kurang lebih 27 menit jika dari Bandara Wunopito melalui rute Jalan Ring Ile Ape.
SEJARAH LETUSAN
Mengutip dari laman resmi esdm.go.id, Gunung Ile Lewotolok tercatat sudah pernah mengalami letusan selama beberapa kali, yaitu pada 1660, 1819, 1849, 1852, 1821, 1864, 1889, dan 1920.
Letusan tersebut memporak-porandakan seluruh wilayah Lembata dan pulau yang ada di sekitarnya sebelum akhirnya berhenti meletus selama 92 tahun kemudian. Gunung Ile Lewotolok kembali meletus pada 2012.
Berdasarkan hasil analisa data visual dan kegempaan yang dilakukan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM, terhitung pada 2 Januari 2012 pukul 23.30 Wita, status kegiatan Gunung Ile Lewotolok ditingkatkan dari waspada (level II) menjadi siaga (level III).
Setelah itu, tercatat pada Oktober 2017, GunungIleLewotolok juga statusnya dinaikkan menjadi waspada karena terdapat peningkatan aktivitas vulkanik sehingga menyebabkan gempa yang terjadi berkali-kali.
Mengutip dari laman detiknews, pada November 2020 gunung ini kembali erupsi sehingga status waspada dinaikkan menjadi siaga. Selanjutnya, erupsi kembali terjadi pada Desember 2021.
Kala itu, NTT yang sebelumnya mendapatkan musibah harus kembali terkena imbas akibat terjadinya erupsi Gunung Ile Lewotolok.
Pada Mei 2022, Gunung Ile Lewotolok mengalami erupsi sehingga status gunung ini sempat siaga. Pada 2023, Gunung Ile Lewotolok mengalami erupsi sebanyak dua kali tepatnya pada bulan Maret dan Mei yang menyebabkan berbagai imbas kepada lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat
RITUAL MAKAN KACANG
Ritual 'makan kacang' atau utan belai sebagai warisan turun temurun digelar warga yang tinggal di kaki Gunung Ile Lewotolok, Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape, Lembata setiap tahunnya. Ritual ini dilakukan bersama-sama di rumah besar (uma belen) dan di panggung upacara (koke bale).
Ritual ini diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur karena rezeki dan kegagalan yang diterima dari Tuhan. Ritual 'makan kacang' dilaksanakan dengan sederhana dan berpedoman pada ketentuan budaya yang sudah berlaku turun- emurun dari leluhur.
Upacara ini dilaksanakan pada minggu ketiga atau keempat September atau minggu pertama dan kedua Oktober. Jadwal tersebut berdasarkan kalender musim yang dihitung pada saat bulan kabisat atau `wulan lein tou' terhadap suku-suku di Lewohala.
Ritual pesta kacang dimulai dengan `sewa nuku' yakni menaikkan daun lontar di namang/lapangan yang dilaksanakan suku Purek Lolon.
Tahap kedua yakni `tukakiwanlua watan' atau perjalanan turun gunung ke pantai yang dilaksanakan sukuPureklolon danLamawalang. Tahap ini masyarakat melempar bungkusan daun lontar yang berisi sirih pinang dan tembakau.
Tahap selanjutnya adalah doro dope yakni memanah ayam dan kelope (jenis ikan melata yang menempel di dahan bakau). Ayam yang dipanah akan digunakan untuk makan bersama.
Tahap keempat adalah pelu belai atau makan nasi tumpeng adat. Makanan ini terbuat dari kacang panjang dan nasi merah yang dimasak oleh anak-anak gadis suku Wungu Belumer sebelum pagi tiba.
Tahap kelima adalah hodi elu atau kesepakatan atau janji pesta. Masyarakat membuat kesepakatan melaksanakan puncak pesta kacang.
Tahap keenam adalah puncak ritual yakni utan wungu belen yang dilaksanakan serempak oleh suku Wungu Belen yang dihadiri para pria. Malam menjelang puncak pesta kacang dilaksanakan seremoni tunu muku manu di setiap rumah adat.
Masih dalam rangkaian pesta kacang, dilaksanakan penu koke bale yakni makan kacang di balai-balai secara serentak oleh suku Wungu Belen dan Wungu Belumer.
Artikel ini ditulis oleh Dewa Gede Kumara Dana, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(nor/nor)