Wakil Bupati Manggarai Barat dr Yulianus Weng akhirnya turun tangan menjelaskan penyebab tingginya kasus balita stunting di daerahnya setelah Dinas Kesehatan setempat kesulitan menjelaskannya. Ia menyebut, penyebab stunting di Manggarai Barat bersifat multifaktor, termasuk di antaranya faktor budaya hingga persalinan yang dilakukan di dukun.
Faktor budaya masyarakat setempat disebutnya menjadi faktor utama kasus stunting balita di Manggarai Barat sulit dikendalikan. Ia memberi contoh kebiasaan dalam keluarga yang tidak memberi porsi gizi yang cukup bagi balita.
"Kebiasaan di masyarakat kita, anak balita belum mendapat porsi gizi. Misalnya kita di rumah tangga potong ayam, biasanya dagingnya, paha, dada kasi bapak, kasi dia punya kakak, kasi orang yang bekerja. Anak kecil, balita kasi kakinya, sayapnya saja," ujar dr Weng, Sabtu (17/12/2022) malam.
Menurutnya, daging adalah sumber protein yang wajib dikonsumsi balita agar kebutuhan gizinya tercukupi. Berikutnya, masyarakat setempat disebut masih memiliki kebiasaan makan asal kenyang. Kebiasaan ini menekankan kebutuhan karbohidrat melalui nasi, namun balita tidak mendapat asupan protein.
"Kita masih makan yang penting kenyang. Nasi aja yang penting, tidak perlu lauk, protein. Yang penting kan kenyang. Nasinya tidak perhatikan sayur, lauknya," kata mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai ini.
Masih terkait faktor budaya, lanjut dr Weng, ada anggapan di masyarakat bahwa jika tinggi badan ayahnya tinggi maka balita itu pasti tumbuh tinggi seperti ayahnya. Kebutuhan gizi balita tak lagi dianggap faktor penting yang memengaruhi pertumbuhan bayi termasuk tinggi badannya.
"Anggapan begini, kalau bapak misalnya tinggi, anaknya tidak diperhatikan makan, toh nanti juga tinggi seperti bapaknya. Apalagi anak banyak mana perhatian gizi, yang penting makan, kasi makan, syukur. Toh nanti anak pasti akan besar seperti bapaknya," jelasnya.
Bekerja Keras Saat Kondisi Hamil
Berikutnya, kebisaan ibu-ibu di kampung yang masih bekerja keras dalam kondisi hamil. Pada saat bersamaan asupan gizinya tidak tercukupi dengan baik. Padahal aktivitas itu bisa berpegaruh terhadap kesehatannya maupun janin dalam kandungannya.
"Kalau ngomong stunting ini ngomong dari anak terbentuk dalam kandungan sampai dia lahir, sampai lima tahun. Kita lihat bagaimana perlakuan kita, budaya kita terhadap ibu hamil. Kita lihat ibu hamil di kampung masih pikul roto, masih kerja. Ibu hamil kalau makan untuk dua orang kan (ibu dan janin), tapi kalau ada makan daging, ibu-ibu sisanya nanti. Itulah faktor budaya yang menyebabkan itu," ujar dr Weng.
Faktor lain kasus stunting belum bisa turun signifikan karena rendahnya kesadaran ibu hamil untuk konsumsi makanan bergizi. Padahal makanan yang dikonsumsinya berpengaruh terhadap kondisi janin dalam kandungan hingga pertumbuhannya setelah lahir.
"Kalau urus stunting harus urus anak sedang dalam kandungan sampai lima tahun. Lihat perilaku-perilaku kita saat ibu hamil. Dia tidak mendapat gizi yang baik. Hamil dianggap hal biasa. Hamil nanti nanti pasti lahir, ibu hamil tetap bekerja berat, tidak ada ibu hamil diperlakukan khusus, makannya bergizi, tidak ada," katanya.
Halaman selanjutnya: Andalkan Dukun Saat Persalinan...
Simak Video "Video: Komodo Keliaran di Area Sekolahan Labuan Bajo"
(iws/hsa)