Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali kembali menyegel dan menyita rumah bersubsidi yang dibangun PT Pacung Permai Lestari. Kali ini, penyidik Kejati Bali menyegel 32 unit rumah bersubsidi yang berada di dua lokasi, Kamis (13/3/2025) sore. Masing-masing 22 unit di Perumahan Peramboan Permai, Desa Sembiran, dan 10 unit di Perumahan Graha Suwug Permai, Desa Suwug.
Kepala Seksi Pengendalian Operasi Kejati Bali Anak Agung Ngurah Jayalantara mengatakan hingga saat ini total 58 unit rumah bersubsidi yang telah disegel. Puluhan rumah tersebut belum laku terjual. Ia mengatakan dua lokasi baru tersebut diketahui setelah penyidik melakukan pengembangan terhadap kasus sebelumnya.
"Dua lokasi baru ditemukan berdasarkan data yang diperoleh saat penggeledahan kantor PT Pacung Permai Lestari," katanya dikonfirmasi Kamis malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jayalantara mengungkap perusahaan pengembang properti itu diduga menggunakan KTP pinjaman untuk mendapatkan rumah subsidi pemerintah. Ada sebanyak 395 unit rumah yang diduga diperoleh menggunakan KTP pinjaman.
"Total nasabah yang menggunakan KTP pinjaman atau bayaran untuk kredit rumah bersubsidi sebanyak 395 unit," ungkap dia.
Adapun sampai saat ini penyidik telah memeriksa sebanyak 35 orang saksi yang terdiri dari pihak pengembang, pemilik KTP yang dibayar, pegawai pengembang, pihak bank, dan BP Tapera.
Diberitakan sebelumnya, Kejati Bali menyita aset milik salah satu perusahaan properti di Kabupaten Buleleng. Penyitaan ini terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam penyaluran perumahan bersubsidi di wilayah tersebut.
Selain aset, penyidik juga menyegel 26 rumah bersubsidi dalam kondisi siap jual milik developer yang berlokasi di Tejakula.
Jayalantara mengungkapkan aset yang disita berupa tiga unit ekskavator, satu dump truck, serta satu unit rumah dan tanah di Desa Pemaron, Buleleng. Penyegelan rumah dilakukan untuk mencegah adanya perpindahan kepemilikan.
"Jadi agar tidak berpindah kepemilikan lagi yang akan mempersulit penyidikan," katanya, ditemui seusai penyitaan, Kamis (27/2/2025) malam.
Jayalantara menegaskan pemilik perusahaan diduga mencatut KTP milik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah subsidi.
"Rumah yang menggunakan KTP pinjaman jumlahnya hampir 180-an dan dalam kondisi terisi sudah oper kredit terhadap pihak yang tidak berhak atau pihak yang tidak memenuhi syarat untuk rumah subsidi," katanya.
Untuk mengelabui pemilik KTP yang dipinjam, pemilik perusahaan menjanjikan sejumlah uang, antara Rp 1 juta hingga Rp 3 juta.
"Modusnya jadi mereka mencari masyarakat MBR dengan iming-iming sejumlah uang dengan janji KTP digunakan 3 bulan. Ternyata KTP digunakan untuk memohon kredit rumah FLPP. Jadi setelah mereka berhasil akad kredit, rumah itu dioperkreditkan ke pihak yang tidak berhak," jelasnya.
(hsa/hsa)