Round Up

Kala Tak Semua Korban Pelecehan Difabel di Mataram Mau Bercerita ke Polisi

Tim detikBali - detikBali
Jumat, 06 Des 2024 08:36 WIB
Foto: ilustrasi pelecehan seksual. (iStock)
Mataram -

Penangan kasus pelecehan seksual dengan tersangka berinisial IWAS, seorang disabilitas di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), terus berlanjut. Sebanyak 13 korban dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual dari IWAS. Namun, tidak semua korban mau bercerita kepada polisi.

Ketua Komisi Difabel Daerah (KDD) NTB Joko Jumadi mengatakan hanya tujuh dari 13 korban yang mau memberikan keterangan ke polisi. Sebagian dari mereka hanya memberikan informasi kepada Komisi Difabel Daerah (KDD) NTB bahwa ikut menjadi korban dugaan pelecehan seksual IWAS.

"Ada yang cerita kejadiannya seperti ini, tetapi sebagian sudah menyatakan tidak bersedia untuk di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Dia hanya memberikan informasi saja," kata Joko pada Kamis (5/12/2024).

Para Korban Alami Trauma

Joko mengungkapkan para korban masih mengalami trauma sehingga belum berani keluar rumah. Bahkan, para korban menonaktifkan akun media sosial (medsos).

"Para korban ini mengalami trauma. Untuk layanan psikologi sejak awal diberikan untuk korban dewasa, kerja sama dengan Satgas PPKS Unram. Sedangkan untuk korban anak kami merujuk ke Kementerian Sosial untuk rehabilitasi," ujar Joko.

KDD NTB, jelas Joko, melakukan pendampingan sejak adanya pelaporan kasus IWAS. Polda NTB juga berkoordinasi dengan KDD NTB guna memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Bagi Disabilitas yang Berhadapan Dengan Hukum di Peradilan.

Disabilitas Sama di Mata Hukum

Joko mengatakan IWAS tidak serta-merta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Menurut Joko, proses penetapan cukup panjang. KDD NTB melakukan pendampingan untuk menjamin hak-hak tersangka dipenuhi dan dilindungi.

Menurut Joko, kedudukan penyandang disabilitas di mata hukum adalah sama. Artinya, kemungkinan disabilitas menjadi tersangka di dalam suatu tindak pidana adalah bukan sesuatu yang tidak mungkin.

"Jadi sangat mungkin disabilitas menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana. Makanya waktu kami diminta rekomendasi kaitan dengan penanganan, kami merekomendasikan penahanan yang pas adalah penahanan rumah," ujar Joko.

Joko menilai tidak tepat jika IWAS ditahan di rumah tahanan negara (rutan) jika melihat kondisinya. Di sisi lain, kata Joko, apabila IWAS tidak dilakukan penahanan, maka dikhawatirkan mengulangi perbuatannya.

"Dengan banyaknya laporan masyarakat, khawatirnya akan banyak pengulangan. Sehingga langkah paling tepat adalah tahanan rumah," terang Joko.

Jurnalis Dilarang Meliput ke Rumah Tersangka

Tiga jurnalis di Mataram, NTB, dilarang meliput ke rumah IWAS. Pelarangan itu terjadi pada Selasa (3/12), pukul 17.00 Wita.

Tiga jurnalis, yaitu Herman Zuhdi dan Rahmatul Kautsar dari TV-One serta Sofiana Mufidah dari RTV, tiba di rumah IWAS yang berlokasi di Kelurahan Monjok, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram. Saat ketiga jurnalis hendak mengambil gambar di lokasi, seorang penyidik menanyakan asal media mereka. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah jurnalis, tiga penyidik yang didampingi oleh satu anggota TNI melarang mereka untuk mengambil gambar.

Bahkan, dua penyidik perempuan dan laki-laki memaksa Herman Zuhdi dan Rahmatul Kautsar menghapus seluruh rekaman yang telah mereka ambil.

Herman Zuhdi, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB, meminta penjelasan atas larangan tersebut. Para penyidik dan seorang anggota TNI menjanjikan akan memberikan keterangan melalui kanit. Namun, hingga kegiatan selesai, tidak ada klarifikasi yang diberikan.

"Apa alasannya kami dilarang mengambil gambar? Kami dilindungi undang-undang dalam melaksanakan tugas. Saya juga sebagai sekretaris IJTI mempertanyakan alasan dilarangnya kami meliput ini. Kita mempunyai undang-undang yang berbeda terkait kebebasan pers," kata Herman dalam keterangan pers yang diterima detikBali, Rabu (4/12/2024).

Herman menjelaskan, ketika para penyidik hendak meninggalkan lokasi, Herman Zuhdi kembali mencari kanit yang katanya akan memberikan penjelasan, tetapi tidak dihiraukan.

"Kami menyerukan kepada pihak berwenang untuk menegakkan hukum dan memastikan hak-hak pers dihormati, serta memberikan penjelasan yang transparan atas insiden ini," terang Herman.

Polda NTB Minta Maaf

IJTI NTB merespons insiden tersebut dengan melakukan langkah advokasi dengan menggelar pertemuan dengan Polda NTB. Pertemuan pengurus IJTI dengan Polda NTB itu dihadiri oleh Dirreskrimum Polda NTB Kombes Syarif Hidayat, Wadirreskrimum Polda NTB Kombes Feri Jaya, dan Kabid Humas Polda NTB Kombes M Kholid.

"Saya menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan media yang merasa tidak nyaman, kami langsung memberikan teguran dan berjanji akan melakukan pembinaan," kata Kombes Syarif Hidayat dalam keterangan yang diterima detikBali, Kamis (5/12/2024).



Simak Video "Video: Agus Difabel Divonis 10 Tahun Penjara Terkait Pelecehan Seksual"

(iws/gsp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork