Korban Pelecehan Seksual Pria Difabel Alami Trauma-Matikan Medsos

Korban Pelecehan Seksual Pria Difabel Alami Trauma-Matikan Medsos

Helmy Akbar - detikBali
Kamis, 05 Des 2024 20:13 WIB
Ilustrasi pemerkosaan
Ilustrasi. Foto: Edi Wahyono/detikcom
Mataram -

Sebanyak 13 orang dilaporkan menjadi korban dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pria difabel, IWAS, di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka mengalami trauma hingga harus mematikan media sosial

Ketua Komisi Difabel Daerah (KDD) NTB Joko Jumadi mengatakan dari 13 korban, tidak semua mau memberikan keterangan ke polisi. Mereka hanya memberikan informasi kepada Komisi Difabel Daerah (KDD) NTB bahwa ikut menjadi korban dugaan pelecehan seksual IWAS.

"Ada yang cerita kejadiannya seperti ini. Tapi sebagian sudah menyatakan tidak bersedia untuk di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Dia hanya memberikan informasi saja," kata Joko pada Kamis (5/12/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Satgas PPKS Universitas Mataram ini menuturkan, hingga saat ini, baru tujuh korban yang mau memberikan keterangan ke polisi. Dia menjelaskan para korban masih mengalami trauma, sehingga belum berani keluar rumah.

"Secara umum, korban belum berani untuk keluar, media sosial dimatikan semua. Para korban ini mengalami trauma. Untuk layanan psikologi sejak awal diberikan untuk korban dewasa, kerja sama dengan Satgas PPKS Unram. Sedangkan untuk korban anak kami merujuk ke Kementerian Sosial untuk rehabilitasi," ujar Joko.

ADVERTISEMENT

Sejak adanya pelaporan kasus ini, KDD NTB melakukan pendampingan. Polda NTB juga berkoordinasi dengan KDD NTB. Itu dilakukan guna memenuhi ketentuan di dalam PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Bagi Disabilitas yang Berhadapan Dengan Hukum di Peradilan. Joko mengatakan tidak serta merta Agus ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi.

Joko mengatakan prosesnya cukup panjang. Dalam hal ini, KDD NTB melakukan pendampingan untuk menjamin hak-hak tersangka dipenuhi dan dilindungi.

Menurut Joko, kedudukan penyandang disabilitas di mata hukum adalah sama. Artinya, kemungkinan disabilitas menjadi tersangka di dalam suatu tindak pidana adalah bukan sesuatu yang tidak mungkin.

"Jadi sangat mungkin disabilitas menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana. Makanya waktu kami diminta rekomendasi kaitan dengan penanganan, kami merekomendasikan penahanan yang pas adalah penahanan rumah," ujar Joko.

Jika IWAS ditahan di rutan, maka tidak pas apabila melihat kondisinya saat ini. Di sisi lain, kata Joko, apabila IWAS tidak dilakukan penahanan maka dikhawatirkan mengulangi perbuatannya.

"Dengan banyaknya laporan masyarakat, khawatirnya akan banyak pengulangan. Sehingga langkah paling tepat adalah tahanan rumah," terangnya.




(nor/gsp)

Hide Ads