Ipda Rudy Soik melakukan perlawanan setelah dipecat oleh Polda Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia menegaskan akan mengambil langkah banding atas putusan Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) oleh Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP).
Rudy membantah kasus dugaan mafia bahan bakar minyak (BBM) yang diselidikinya melanggar prosedur. Rudy dinyatakan bersalah telah memasang garis polisi di rumah warga bernama Algazali Munandar dan Ahmad Ansar di Kupang. Rudy menduga keduanya terlibat dalam penimbunan BBM ilegal. Ahmad merupakan residivis dalam kasus serupa.
"Saya akan mengikuti mekanisme yang berlaku. Saya akan melawan melalui upaya hukum, yaitu melakukan banding dan peninjauan kembali (PK)," ujar Rudy, Minggu (13/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rudy menjelaskan dalam fakta persidangan, Ahmad mengakui membeli solar subsidi pada 15 Juni 2024 menggunakan QR Code orang lain dan menyuap seorang anggota polisi. Fakta tersebut tak terbantahkan saat sidang berlangsung pada Rabu (9/10/2024).
"Dia mengaku memiliki barcode (QR Code) dan izin kapal, tapi, setelah saya minta untuk perlihatkan surat izinnya, dia bilang tidak ada. Artinya, pembelian yang dilakukan Ahmad itu secara ilegal dan perbuatan melawan hukum yang sudah memenuhi syarat sesuai Pasal 55 dalam Undang-undang (UU) Migas," jelas Rudy.
Rudy kembali menegaskan pemasangan garis polisi di rumah Ahmad karena modusnya menggunakan QR Code ilegal lalu menampung di rumahnya. Kemudian ada mobil pengangkut yang datang.
"Sehingga yang saya pasangi garis polisi itu adalah wadah yang korelasinya dengan tanggal 15 Juni dia membeli solar," tegas Rudy.
Rudy Bantah Ada Pelanggaran SOP
Rudy mengaku telah menguji Ahmad dalam persidangan sehingga ditemukan Ahmat tidak memiliki QR Code atas namanya. Selain itu, Algajali juga mengaku solar subsidi yang mereka timbun lalu memberikan kepada Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda NTT juga semuanya ilegal.
"Saat sidang juga saya minta, tahapan mana yang saya langgar? Kok jadinya saya, jadinya saya yang harus di-PTDH. Itu yang saya sering bertanya-tanya padahal semua yang saya lakukan atas perintah pimpinan dan dibuatkan surat perintah penyelidikan yang masih berlaku sampai saat ini," urai Rudy.
Rudy mengungkap awalnya Algajali dan Ahmad mengaku tidak saling kenal. Namun, ketika Rudy hendak membuka rekaman interogasi terhadap mereka, komisi sidang malah melarangnya. Rudy kemudian melontarkan pertanyaan kepada Ahmad yang pernah mengaku bahwa Algajali pernah memesan solar subsidi sebanyak dua kali darinya.
"Itu pengakuan dalam rekaman, maka saya minta rekaman saya diuji di Forensik Mabes Polri. Saya bicara di-PTDH karena pasang garis polisi," tandas Rudy.
Rudy Mengaku Diintimidasi
Rudy Soik mengaku kaget atas putusan pemecatan tersebut. Baginya, putusan itu merupakan hal menjijikkan.
"Masak saya hanya pasang garis polisi terkait mafia minyak menggunakan barcode nelayan kok saya disidang PTDH. Saya juga kaget dengan putusan ini, tapi tidak apa-apa, sebagai warga negara yang taat terhadap aturan, maka saya ikuti prosesnya. Artinya putusan itu belum bersifat final. PTDH itu juga adalah hal yang bagi saya sangat menjijikkan," ujar Rudy saat dihubungi detikBali, Minggu.
Rudy mengaku dapat tekanan selama proses sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polda NTT. Karena adanya intimidasi itulah, Rudy berujar, dirinya memilih tak hadir saat sidang putusan pada Jumat (11/10/2024) setelah menghadiri sidang pada Rabu (9/10/2024).
Menurutnya, sidang itu hanya menekankan pada proses pemasangan garis polisi yang dinilai melanggar prosedur. Pimpinan sidang, Rudy berujar, tidak melihat rangkaian kasus penyelidikan mafia BBM bersubsidi itu.
Garis polisi itu dipasang Rudy dan sejumlah anggota polisi lainnya di rumah warga bernama Algazali Munandar dan Ahmad Ansar di Kota Kupang, NTT. Keduanya diduga menimbun BBM bersubsidi di tengah kelangkaan di Kupang. Bahkan, Ahmad adalah seorang residivis dalam kasus serupa.
"Saya merasa benar-benar ditekan dalam memberikan keterangan saat itu. Contohnya dalam pemasangan garis polisi itu kan ada rangkaian ceritanya dari tanggal berapa dan seterusnya, tetapi mereka justru paksa saya agar menceritakan hanya di tanggal 27 (Juni 2024)," urai mantan KBO Satreskrim Polresta Kupang Kota itu.
"Seharusnya komisi sidang menanyakan kenapa saya memasang garis polisi, itu yang harusnya mereka minta saya untuk menjelaskan, tapi saya sama sekali tidak diberikan ruang untuk menjelaskan sampai akhir, jadi hanya berpatokan pada tanggal 27 itu," imbuh pria berusia 41 tahun itu.
Saat sidang, Rudy diberikan kesempatan untuk menanyakan kepada Ahmad Ansar terkait kepemilikan BBM yang ditampung dalam jumlah banyak. Kepada Rudy, Ahmad mengaku BBM ilegal yang ditampung kemudian diberikan kepada Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda NTT.
Rudy kemudian kembali menanyakan sejumlah fakta kepada Algazali di dalam sidang. Algazali juga mengaku pernah memberikan uang belasan juta kepada salah seorang polisi di Polda NTT terkait kasus BBM itu. Namun, menurut Rudy, komisi sidang menilai hal itu tidak perlu dibahas lebih jauh di dalam sidang karena dianggap sudah melebar ke mana-mana.
"Itu pun saat saya kasih penjelasan, komisi sidang langsung melarang saya dan mengatakan 'hei, kamu jangan melebar ke mana-mana'. Ini artinya dalam sidang tersebut mereka tidak melihat fakta dan konstruksi apa dalam kasus ini," beber pria berkaca mata itu.
Polda Bantah PTDH karena Garis Polisi
Polda NTT membantah PTDH atau pemecatan terhadap Ipda Rudy Soik bukan karena pemasangan garis polisi di rumah Ahmad Ansar dan Algajali Munandar. Dia dipecat karena mekanisme prosedur penanganan penyelidikan BBM yang tidak sesuai prosedur operasi standar (SOP).
"Kami tegaskan bukan karena pasang garis polisi baru PTDH, tetapi penyelidikan BBM tidak sesuai SOP yang berlaku. Sehingga dari hasil itu kami lakukan pemeriksaan dengan menghadirkan sejumlah saksi, ternyata bukan penegakan hukum tetapi penertiban dengan kata penertiban, maka dia melakukan tindakan sewenang-wenang memasang garis polisi," ujar Kabid Propam Polda NTT Kombes Robert Anthoni Sormin saat konrensi pers di Mapolda NTT, Minggu.
Menurut Sormin, alasan pemecatan itu karena terdapat tujuh kasus yang memberatkan mantan KBO Satreskrim Polresta Kupang Kota, itu. Salah satunya pernah diproses pidana pada 2015 dengan mendapat vonis empat bulan kurungan.
"Hal-hal itu yang menjadi pemberatan di dalam proses sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri kemarin. Sehingga kami putuskan PTDH," jelas Sormin.
Akibat dari pemasangan garis polisi, Sormin berujar, Algajali mengalami gangguan psikologi. Ahmad juga demikian. Pekerjaannya pun diberhentikan sementara karena mereka dituduh melakukan tindak pidana penimbunan BBM jenis solar subsidi.
"Fakta-faktanya bahwa yang bersangkutan sudah tujuh kali menerima sanksi disipilin dan kode etik, yaitu tiga kasus disiplin dan tiga kasus kode etik sebelumnya. Jadi saya tegaskan bukan karena SOP (pemasangan garis), tapi karena mekanisme prosedur yang dilakukan tidak benar," ungkap Sormin.
Sormin menegaskan saat persidangan berlangsung tidak ada intimidasi dan penekanan yang berlebihan. Komisi sidang memberikan ruang kepada Rudy Soik agar melakukan eksepsi. Namun, Rudy melakukan eksepsi yang bersifat lisan.
"Kami juga memberikan ruang kepadanya untuk menanyakan kepada para saksi (Algajali dan Ahmad) dengan catatan saudara terduga tidak boleh lakukan pertanyaan yang bersifat pemeriksaan," tegas Sormin.
Sementara itu, Kepala Bidang Hukum (Kabidkum) Polda NTT, Kombes Taufik Irpan Awaluddin, mengatakan Ipda Rudy Soik masih punya kesempatan selama 30 hari untuk mengajukan banding. Apabila memori bandingnya sudah ada, maka Polda NTT siap lakukan persidangan.
"Sejauh ini yang bersangkutan belum ajukan banding kepada kami. Kalau sudah ada, maka hakim komisi banding akan mempertimbangkan perkara tersebut apakah menerima atau menolak," kata Awaluddin.
Kapolresta Kupang Kota, Kombes Aldinan Manurung, menambahkan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat berupa dugaan penyalahgunaan BBM, maka Polresta Kupang Kota menerbitkan surat perintah tugas yang bertujuan untuk melakukan pemantauan.
"Ipda RS (Rudy Soik) melaporkan kepada saya secara lisan bahwa adanya penimbunan BBM ilegal, makanya saya perintahkan untuk tindaklanjuti," terang Aldinan.
Kabid Humas Polda NTT, Kombes Ariasandy menjelaskan selama 2024, Polda NTT belum pernah menangani maupun menerima laporan polisi terkait penimbunan BBM di NTT.
"Selama ini tidak ada kasus BBM yang kami tangani," tandas Ariasandy.
Polda NTT Beberkan Fakta Memberatkan
Polda NTT juga membeberkan sejumlah fakta yang memberatkan hingga Ipda Rudy Soik dipecat dari institusi Polri.
Kabid Humas Polda NTT, Kombes Ariasandy, menjelaskan pelaksanaan sidang kode etik terhadap Ipda Rudy Soik, anggota Pama Yanma Polda NTT dilakukan sebagai respons terhadap dugaan pelanggaran terkait dengan prosedur penyidikan. Sidang itu bertujuan untuk menegakkan disiplin dan integritas di lingkungan Polda NTT.
Menurut Ariasandy, proses pemeriksaan sidangnya digelar pada 10-11 Oktober 2024 di gedung Direktorat Tahti Lantai II Polda NTT.
"Pemeriksaan sidang kode etik tersebut bertujuan untuk memeriksa dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti dan keterangan terduga pelanggar, Rudy Soik. Sehingga hasil pemeriksaannya yang bersangkutan dinyatakan terbukti bersalah, maka dijatuhi sanksi berupa perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan di-PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) dari dinas Polri," kata Ariasandy, Minggu (13/10/2024).
Ariasandy mengatakan saat proses pemeriksaan dalam persidangan, kuasa hukum Rudy Soik menanggapi secara lisan tuntutan penuntut yang pada intinya meminta maaf kepada institusi Polri atas perbuatan terduga pelanggar karena telah mencoreng nama baik institusi Polri. Kemudian tindakan Rudy Soik tidak kooperatif, tidak sopan dalam persidangan dan meninggalkan ruangan persidangan.
Pendamping hukumnya tidak akan mengajukan pembelaan lagi karena Rudy Soik sendiri tidak kooperatif dalam persidangan, meninggalkan ruang sidang, tidak bersedia mendengarkan penuntutan dan putusan hingga persidangan dilanjutkan tanpa kehadirannya atau inabsensia.
"Pengambilan keputusannya oleh majelis sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) sudah mempertimbangkan persangkaan, tuntutan dan tanggapan dari pendamping terduga pelanggar dan penilaian terhadap seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan berupa keterangan para saksi," kata Ariasandy.
Para saksi yang dihadirkan, Ariasandy berujar, yaitu Ahmad Ansar, Algajali Munandar, AKP Yohanes Suhardi, Ipda Andi Gunawan, Aipda Ardian Kana, Bripka Jemi Tefbana, Briptu Dewa Alif Ardika dan Kapolresta Kupang Kota
Kombes Aldinan Manurung.
Pada intinya para saksi membenarkan bukti-bukti yang diajukan oleh akreditor, baik oleh Rudy Soik maupun pendamping hukumnya telah mengakui bukti dan fakta tersebut. Sehingga tidak mengajukan bukti atau pembelaan selain meminta maaf dan mengakui adanya perbuatan yang merugikan intitusi Polri.
2 Terduga Penimbun BBM Merasa Malu
Ariasandy menegaskan Rudy Soik telah melakukan perbuatan pelanggaran KKEP berupa melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, standar operasional prosedur, dan ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan BBM dengan melakukan pemasangan garis polisi pada drum dan jeriken yang kosong di lokasi milik Ahmad Ansar dan Algajali Munandar yang mana lokasi itu tidak terdapat barang bukti dan bukan merupakan peristiwa tindak pidana.
"Tindakan tersebut tidak didukung dengan administrasi penyelidikan sehingga menyebabkan Ahmad Ansar dan Algajali Munandar merasa malu, menimbulkan polemik di kalangan masyarakat sekitarnya, keluarganya merasa malu dengan pemberitaan media masa seolah-olah telah melakukan kejahatan padahal dirinya merasa tidak bersalah," tegas Ariasandy.
Pada proses persidangan, sama sekali tak ada fakta meringankan. Sebaliknya, ada beberapa fakta memberatkan sehingga Ipda Soik terpaksa dipecat. Berikut fakta-fakta tersebut:
1. Pada saat pelanggaran terjadi dilakukan secara sadar, kesengajaan dan menyadari perbuatan tersebut merupakan norma larangan yang ada pada Peraturan Kode Etik Polri.
2. Perbuatan terduga pelanggar dapat berimplikasi merugikan dan merusak citra kelembagaan Polri.
3. Terduga pelanggar dalam memberikan keterangan tidak kooperatif dan berbelit-belit dan tidak berlaku sopan di depan persidangan komisi.
4. Terduga pelanggar dalam pemeriksaan pendahuluan menolak memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan dan menolak mendandatangani berita acara pemeriksaan.
5. Terduga pelanggar dalam persidangan pembacaan tuntutan, mendadak dan menyatakan untuk tidak mendengarkan dan mengikuti persidangan sehingga terduga pelanggar meninggalkan ruangan persidangan hingga tetap dilanjutkan dengan sidang tanpa kehadiran terduga pelanggar.
6. Bahwa dalam persidangan saat agenda pembacaan tuntutan terduga pelanggar keluar dari persidangan tidak berkenan mendengarkan tuntutan dan putusan serta keluar tidak mengikuti persidangan secara hukum, maka persidangan tetap berjalan tanpa kehadiran terduga pelanggar.
7. Terduga pelanggar pernah melakukan pelanggaran disiplin sebanyak tiga kali dan KKEP satu kali dengan putusan disiplin.
(hsa/iws)