Pakar hukum pidana Universitas Negeri Mataram, Syamsul Hidayat, menilai vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa Brigadir Denune To'at Abdian (24) dalam kasus pemerkosaan terhadap mahasiswi berinisial DA (20) sudah sesuai. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram menghukum To'at enam tahun penjara.
Menurut Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unram ini, putusan pengadilan yang cukup jauh dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) selama 10 bulan sudah sah secara hukum.
"Kenapa? Karena yang dilihat itu adalah ancaman pidana paling lamanya. Kan di dalam Pasal 6 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) itu ancaman maksimal adalah 12 tahun. Sehingga hakim berwenang menjatuhkan antara hukuman minimal 1 hari dan maksimal 12 tahun," ujar Syamsul kepada detikBali via WhatsApp, Kamis (1/8/2024) sore.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syamsul menegaskan di dalam Pasal 6 huruf C UU Nomor 12 Tahun 2022 tidak ditentukan ancaman minimalnya sebuah perkara. Secara teoritis, Syamsul melanjutkan, sistem pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa Brigadir To'at menganut sistem pidana minimal umum dan maksimal khusus.
"Minimal secara umum satu hari. Maksimalnya diatur secara khusus dalam sistem maksimal khusus yang diatur 12 tahun. Sehingga hakim memiliki kewenangan menghukum orang yang didakwakan melanggar Pasal 6 C itu dengan vonis 6 tahun. Itu sudah sesuai kewenangan hakim dan tidak melanggar prosedur," urai Syamsul.
Terkait tuntutan jaksa yang sangat rendah, yakni 10 bulan penjara, Syamsul menilai hal yang biasa. Sebelum menjatuhkan vonis, dia meyakini majelis hakim sudah melihat fakta-fakta persidangan. Maka, amar tuntutan jaksa tidak bisa dijadikan landasan oleh hakim.
"Dari fakta persidangan kemungkinan atau hakim yakin melihat dua alat bukti untuk mendukung keyakinannya. Menurut saya (vonis) 6 tahun itu kewenangan dan subjektif hakim yang menjatuhkan pidana. Itu kan ada di tengah-tengah ancaman maksimal 12 tahun," ujarnya.
Dalam kasus tersebut, Syamsul melihat ada alasan hakim meringankan dan memberatkan hukuman kepada terdakwa Brigadir To'at dari ancaman maksimal 12 tahun. Alasan meringankan, hakim melihat proses perdamaian antara korban dan terdakwa.
"Tapi itu semua tidak menghapus perbuatan pidana karena sudah ada pelaporan sejak awal. Kalau misalnya alasan 'suka sama suka'. Kenapa melapor? Kenapa tidak berdamai di awal?" kata Syamsul.
"Alasan memberatkan mungkin ya, ada unsur-unsur pemaksaan (pemerkosaan) yang mungkin dapat menghilangkan martabat korban," sambung Syamsul.
Dosen Fakultas Hukum Unram ini menjelaskan putusan 6 tahun yang diberikan hakim kepada terdakwa Brigadir To'at itu disebut putusan ultra petita. Yakni, putusan hakim ke terdakwa melampaui tuntutan yang diberikan oleh jaksa.
"Secara teoritis boleh. Itu dikenal putusan yang melampaui tuntunan jaksa. Interval hukuman itu masih di bawah 12 tahun. Kecuali putusan di atas 12 tahun baru tidak boleh. Karena ancaman maksimal 12 tahun. Kalau 6 tahun masih dibolehkan," bebernya.
Dalam sebuah perkara pidana, Syamsul berujar, hakim memiliki kewenangan memutus perkara diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam aturan tersebut hakim memiliki kewenangan memutus perkara berdasarkan dua alat bukti.
"Itulah sehingga dijatuhkan hukuman 6 tahun ke terdakwa. Ada upaya banding itu boleh saja. Apakah nanti banding diterima misalnya hukuman dirubah oleh hakim bisa saja. Tapi, apa dikurangi atau ditambah itu kewenangan hakim sesuai pasal tadi," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Humas Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo mengatakan pembacaan amar putusan terdakwa Brigadir To'at dibacakan secara tertutup untuk umum pada, Rabu (31/7/2024).
"Sudah diputus dengan amar putusan pidana penjara 6 tahun, denda Rp 100 juta subsidair kurungan 3 bulan," kata Kelik Trimargo, Rabu siang.
(hsa/hsa)