Eks Walkot Bima Didakwa Terima Suap Proyek Rp 1,95 Miliar, Ada Peran Istri

Eks Walkot Bima Didakwa Terima Suap Proyek Rp 1,95 Miliar, Ada Peran Istri

Ahmad Viqi - detikBali
Senin, 22 Jan 2024 14:39 WIB
Sidang perdana kasus korupsi Wali Kota Bima Muhammad Lutfi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Senin (22/1/2024). (Ahmad Viqi/detikBali)
Foto: Sidang perdana kasus korupsi Wali Kota Bima Muhammad Lutfi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Senin (22/1/2024). (Ahmad Viqi/detikBali)
Mataram -

Mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi menjalani sidang perdana kasus korupsi suap dan gratifikasi pada pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan Kota (Pemkot) Bima periode 2019-2022, Senin (22/1/2024). Ia didakwa menerima uang suap proyek sebesar Rp 1,95 miliar.

Sidang dakwaan terhadap Muhammad Lutfi dibuka oleh Ketua Majelis Hakim Putu Gde Hariadi dengan dua anggota, yakni Agung Prasetyo dan Djoko Soepriyono. Dakwaan dibacakan oleh empat jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK RI, yakni Andi, Diky Wahyu Ariyanto, Agus Prasetya Raharja, dan Johan Dwi Junianto.

Dalam sidang dakwaan tersebut, tersangka Muhammad Lutfi didakwa menerima uang suap proyek sebesar Rp 1,95 miliar dari Direktur Cabang PT Risalah Jaya Kontruksi Muhammad Maqdis pada proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima tahun anggaran 2019-2020.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Uang tersebut, kata JPU Andi, sebagai fee proyek pada pengerjaan pelebaran Jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di perumahan Oi'Foo Kecamatan Rasanae, Kota Bima.

Andi menyebut terdakwa memiliki adik ipar bernama Muhammad Maqdis yang merupakan kepala cabang PT Risalah Jaya Kontruksi. Terdakwa bersama istrinya, Ellya atau Umi Ellya, bersama-sama memberikan fasilitas terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Bima untuk Muhammad Maqdis.

"Terdakwa dan istri terdakwa Umi Ellya memberikan Muhammad Maqdis paket-paket pekerjaan. Bahwa fasilitas yang diberikan oleh terdakwa bersama Elya kepada Muhammad Maqdis itu juga ada dijadikan rumah pribadi sekaligus sebagai kantor PT Risalah Jaya Kontruksi," kata Andi dalam pembacaan dakwaan tersangka Muhammad Lutfi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Senin.

Menurut Andi, rumah yang diberikan terdakwa tersebut sering digunakan membahas paket pekerjaan proyek di Pemkot Bima. Tujuannya, agar dapat dikerjakan oleh Muhammad Maqdis dengan perusahaannya atau dengan meminjam perusahaan orang lain.

"Bahwa pengaruh yang diberikan terdakwa bersama Ellya agar Muhammad Maqdis bisa mengerjakan paket-paket pekerjaan tersebut diawali dengan terdakwa meminta list paket proyek pekerjaan langsung maupun melalui tender kepada beberapa kepala Dinas di Pemkot Bima," ujarnya.

Selanjutnya, kata JPU yang lain, Muhammad Lutfi mengisi daftar nama-nama orang yang akan melaksanakan pekerjaan dalam proyek tersebut.

Setelah itu, Muhammad Lutfi bersama Ellya memberikan pengaruh kepada Ketua dan anggota Pokja di Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemkot Bima agar memenangkan perusahaan milik Muhammad Maqdis dalam daftar pekerjaan proyek di Kota Bima.

"Semua pekerjaan itu dikendalikan oleh Muhammad Maqdis, adik dari Ellya," ungkap JPU.

Bahkan, Muhammad Lutfi menjanjikan kepada Zafran sebagai ketua timses (tim sukses) pemenangan Muhammad Lutfi pada Pilkada Kota Bima pada 2018. Zafran disebut menemui Muhammad Lutfi di kediamannya untuk menagih janji terkait proyek tersebut.

"Zafran Menanyakan pekerjaan kepada terdakwa dengan menggunakan CV Delta KBR," ujar JPU dalam pembacaan dakwaan tersebut.

Di sana, Zafran memberikan uang sebesar Rp 100 juta kepada Muhammad Lutfi agar CV Delta KBR diberikan proyek. Namun Zafran tidak kunjung diberikan pekerjaan hingga Muhammad Lutfi ditangkap KPK

"Terdakwa bersama Ellya mengatur agar Muhammad Maqdis memperoleh paket pekerjaan di lingkungan Pemkot Bima. Baik menggunakan PT Risalah Jaya Kontruksi menggunakan perusahaan lain," ujar JPU.

JPU mengatakan PT Risalah Jaya Kontruksi menerima pembayaran proyek dari Dinas PUPR dengan nomor kontrak 07.03/3.3/PPK.pn/PUPR/VII/2019 senilai Rp 2,7 miliar pada 1 November 2019. PT Risalah Jaya Kontruksi kemudian memberikan Rp 1,85 miliar ke Muhammad Lutfi dan Umi Ellya dalam tiga termin.

Termin pertama diberikan pada 5 November 2019 dilakukan penarikan secara tunai sebesar Rp 1 miliar dari rekening PT Risalah Jaya Kontruksi atas perintah dari Nafila, istri Muhammad Maqdis. Lalu uang itu dibawa ke rumah pribadi Ellya di Kota Bima.

"Di sana (Muhammad Maqdis) lalu bertemu dengan Ellya, selanjutnya memerintahkan uang tersebut disetor tunai ke rekening bank ke PT Risalah Jaya Rekonsiliasi," ujar JPU.

Pada 6 November 2019, uang sebesar Rp 350 juta dari PT Risalah Jaya Rekonstruksi diberikan kepada Ellya. Kemudian pada 11 November 2019, Muhammad Lutfi kembali menerima uang sebesar Rp 500 juta dari PT Risalah Jaya Rekonstruksi berupa cek.

"Uang tersebut diberikan ke terdakwa untuk membeli mobil Toyota sebagai hadiah ulang tahun kepada Umi Ellya," beber JPU.

JPU mengatakan dari keseluruhan penerimaan uang fee fasilitas Muhammad Lutfi dan Umi Ellya pada pengadaan barang dan jasa dengan total Rp 1,95 miliar.

Dengan begitu, Muhammad Lutfi bersama-sama Umi Ellya menerima uang Rp 1,95 miliar yang berlawanan dengan tugas terdakwa selaku Wali Kota Bima. JPU menyebutkan Muhammad Lutfi melanggar Pasal 76 ayat 1 huruf e UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Perbuatan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi yang diatur melanggar
Pasal 12 huruf i dan/atau Pasal 12B juncto Pasal 15 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Penasihat hukum Muhammad Lutfi, Abdul Hanan, tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi dalam sidang dakwaan tersebut. Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi pukul 09.00 Wita-22.00 Wita, Senin (29/1/2024).




(nor/gsp)

Hide Ads