Eks Bendesa Adat Bongkasa, I Ketut Luki, dituntut hukuman empat tahun penjara. Dia dianggap terbukti menyelewengkan jabatan dengan menerima suap atau meminta komisi dari proyek pembangunan pura Desa Adat Kutaraga, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
"Supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Denpasar nenjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Ketut Luki dengan pidana penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta," kata Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Bali, Putu Eka Sabana, dalam amar tuntutannya, Rabu (9/4/2025).
Luki dianggap meminta atau menerima uang secara tidak sah dari proyek pembangunan itu. Hal itu diatur dalam Pasal 12 huruf g Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai kepala desa adat, Luki juga dianggap menyelewengkan jabatannya, dengan mengutak-atik pengelolaan keuangan desa adat. Hal itu, diatur dalam Pasal 1 angka 15 juncto Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
"Terdakwa I Ketut Luki telah menguntungkan diri sendiri, menyalahgunakan wewenangnya, menerima pembayaran dengan memaksa seseorang," kata Eka.
Aksi kriminal Luki berawal saat desanya menerima Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari APBD Induk Kabupaten Badung tahun anggaran 2024. Nilai total BKK itu sebesar Rp 22,5 miliar.
Ada enam proyek pembangunan pura dan satu kegiatan penataan areal parkir di pura itu yang didanai dari BKK. Dalam proyek pura itu dialokasikan dana BKK sebesar Rp 2,4 miliar.
Setelah melalui proses birokrasi, administrasi, dan lelang, proyek pembangunan pura itu dimulai. Tender lelang dimenangkan dan proyek dikerjakan oleh CV Wana Bhumi Karya. Jangka waktunya, 180 hari kerja, dimulai 13 Mei 2024.
"Dalam hal kemajuan pekerjaan telah terpenuhi, maka CV Wana Bhumi Karya selaku penyedia dapat mengajukan pembayaran termin (bayar jasa pembangunan pura dari desa adat)," ungkapnya.
Biaya jasa pembangunan pura itu dibayar Desa Adat Bongkasa dalam dua termin atau dua kali. Pembayaran pertama, dilakukan pihak desa adat ke CV Wana Bhumi Karya, sebesar Rp 534,3 juta setelah dipotong pajak dan lainnya. Pembayaran kedua, diajukan sebesar Rp 603,6 juta oleh Wana Bhumi.
Saat pembayaran termin ke-2 itulah Luki meminta uang atau komisi kepada pihak CV Wana Bhumi Karya sebesar Rp 20 juta. Luki beralasan butuh uang membeli batu bata untuk merenovasi rumahnya.
Modusnya, dengan mencairkan pembayaran termin ke-2 kepada Wana Bhumi lebih rendah dari yang diajukan, yakni Rp 534,3 juta. Uang Rp 20 juta dalam pecahan Rp 100 ribuan itu diserahkan Direktur CV Wana Bhumi Karya, Kadek Dodi Setiawan dan Komisaris BPD Bali cabang Mangupura, Ni Luh De Widyastuti, melalui anak buah Dodi.
"Kadek Dodi dan Widyastuti terpaksa memberikan uang yang diminta Luki karena khawatir jika tidak menuruti permintaan terdakwa maka proses pencairan termin berikutnya akan kembali dipersulit dan dihambat. Dodi butuh modal untuk membiayai proyek lainnya yang sedang dikerjakan dan gaji karyawan," ungkapnya.
(hsa/hsa)