Kalondo Wei artinya menurunkan (kalondo) dan istri (wei). Prosesi ini dijalani oleh calon bunti siwe (calon pengantin perempuan) menjelang pernikahan atau satu hari jelang akad (ijab kabul) dan jambuta (resepsi pernikahan).
Tradisi Kalondo Wei sudah lama dilaksanakan oleh masyarakat Bima dan lestari hingga saat ini. Konon, tradisi ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Bima sekitar tahun 1640.
Salah satu wilayah yang masih melestarikan Kalondo Wei yakni di Kota Bima, lebih khususnya warga di Kecamatan Rasanae Barat (Rasbar), Rasanae Timur, hingga Kecamatan Asakota.
"Tradisi Kalondo Wei masih dijalani oleh warga. Saat akan menikah, calon pengantin akan menjalani prosesi ini (kalondo wei)," ucap salah seorang warga, Najmah, kepada detikBali, belum lama ini.
Warga Kelurahan Jatiwangi, Kecamatan Asakota, ini menjelaskan Kalondo Wei adalah satu rangkaian prosesi pernikahan adat masyarakat Bima. Calon pengantin perempuan akan diarak keliling kampung dengan ditandu oleh pihak keluarga atau sanak saudaranya.
![]() |
"Calon pengantin perempuan ini dijemput (diturunkan) dari rumahnya. Kemudian diarak keliling kampung hingga menuju rumah pengantin yang telah disiapkan.
Menurutnya, prosesi Kalondo Wei berlangsung setelah salat isya. Calon pengantin perempuan diarak keliling kampung mengenakan pakaian adat Bima dan diiringi hadrah rebana, yakni salah satu atraksi kesenian musik tradisional khas Bima.
"Diiringi hadrah rebana, yang isinya dzikir, hingga salawat," ujarnya.
Menurut Abakar, yang juga warga di sana, prosesi Kalondo Wei di Bima berbeda- beda, tergantung kemampuan yang melaksanakan hajat pernikahan. Sebab Kalondo Wei juga dirangkaikan dengan peta kapanca bagi calon pengantin perempuan.
"Kalondo Wei harus bersama dengan peta kapanca. Tapi sesuai kemampuan, ada juga yang hanya menjalani Kalondo Wei saja," ujarnya.
Meski tidak melaksanakan peta kapanca, namun prosesi Kalondo Wei tetap meriah dan menjadi hiburan bagi masyarakat. Anak-anak hingga orang tua akan turut menyaksikan prosesi ini hingga selesai.
(dpw/dpw)