Mengenal Sambolo, Ikat Kepala Khas Lelaki dari Bima

Bima

Mengenal Sambolo, Ikat Kepala Khas Lelaki dari Bima

Rafiin - detikBali
Minggu, 05 Mei 2024 14:43 WIB
Sambolo atau ikat kepala yang dipakai Menparekraf, Sandiaga Salahuddin Uno saat berkunjung ke Bima, NTB, beberapa waktu lalu.
Sambolo atau ikat kepala yang dipakai Menparekraf, Sandiaga Salahuddin Uno saat berkunjung ke Bima, NTB, beberapa waktu lalu. (Foto: Rafiin/detikBali)
Bima -

Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki banyak ragam pakaian adat, salah satunya adalah sambolo. Ikat kepala ini terbuat dari kain tenunan tradisional yang dipakai oleh lelaki Bima.

Selain itu, Sambolo juga dipakai oleh tamu-tamu mulai dari pejabat negara, artis, tokoh nasional yang berkunjung ke Bima. Salah satunya adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno, saat berkunjung ke Bima beberapa waktu lalu.

Budayawan sekaligus sejarawan Bima, Fahrurizki, mengatakan sambolo adalah penghangat kepala lelaki khas Bima. Kata dia, sambolo Bima ada beberapa jenis dan dipakai oleh laki-laki berdasarkan status dan jabatannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sambolo yang dikenakan tidak hanya sebatas atribut ikat kepala. Tapi disesuaikan dengan baju adat Bima yang dikenakan," kata Fahrurizki kepada detikBali, Minggu, (5/5/2024).

Fahrurizki mengungkapkan berdasarkan hasil riset yang dilakukan, setidaknya ada 17 jenis pakaian adat pria khas Bima. Penggunaan belasan jenis pakaian adat itu juga harus menggenakan sambolo.

ADVERTISEMENT

"Saling berkaitan antara pakaian adat dan sambolo yang dikenakan," katanya.

Sejarah Asal-usul Sambolo Bima

Fahrurizki menerangkan asal-usul sambolo muncul di Bima, pertama kali dibawa oleh orang-orang Islam (tarekat) dari Suku Melayu. Awalnya berbentuk surban yang hanya dipakai oleh kaum sufi.

"Jadi sambolo ini adalah akulturasi Melayu dengan Bima," ujarnya.

Dulu lanjut dia, sambolo di Bima hanya dipakai oleh kaum religius (sufi). Sambolo kalea yang dipakai berdasarkan tingkat keilmuan. Dipercaya oleh masyarakat dan memiliki nilai falsafahnya sendiri. Kalau sambolo kalea tebal di lingkaran kepalanya maka seseorang itu akan disegani.

"Jadi kalau ada imam atau khatib baru akan menggenakan Sambolo kalea ini dengan kain tenun tipis. Semakin tinggi tingkat keilmuannya dan sering mungkin menjadi imam dan khatib maka semakin tebal pula sambolo yang dipakai," katanya.

Fahrurizki mengatakan sambolo di Bima mulai dikenal dan dikembangkan secara luas sekitar tahun 1780-an atau abad ke -18 di bawah Pemerintahan Sultan Abdul Hamid. Sultan Bima yang ke IX itu memodifikasi dan memperbaharui sambolo.

"Dulu hanya dipakai oleh kaum religius atau lebe. Namun sejak Pemerintahan Sultan Abdul Hamid, sambolo dipakai sesuai dengan status sosial dan jabatannya," ujarnya.

Pegawai Pemkot Bima yang mengenakan pakaian adat Bima berupa Sambolo dan Rimpu saat jam kerja Kamis (29/2/2024) kemarin. (Dok. Rafiin//detikBali)Pegawai Pemkot Bima yang mengenakan pakaian adat Bima berupa Sambolo dan Rimpu saat jam kerja Kamis (29/2/2024) kemarin. (Foto: Rafiin//detikBali)

Sambolo Dipakai Sesuai Status Sosial

Fahrurizki menyebutkan sambolo Bima ada beberapa jenis, seperti sambolo Lebe (Kalea), Sonco, Jolo, Songke, dan Mbati. Sombolo-sambolo itu dipakai oleh pria Bima berdasarkan status sosial dan jabatannya.

Misalnya sambolo Lebe atau Kalea akan dipakai oleh kaum religius (alim ulama, kiai, imam dan khatib). Kemudian sambolo Sonco dipakai oleh Jeneli atau kepala wilayah, seperti camat, wali kota dan bupati. Kemudian sambolo Jolo dipakai oleh gelara atau kepala desa (kades).

"Sambolo songke dipakai oleh masyarakat yang berada (kaya raya) sedangkan Sambolo mbati (batik) dipakai oleh masyarakat umum," katanya.

Selain itu, lanjut dia, proses pembuatan sambolo Bima juga tidak sembarang. Bahan dasar pembuatan dengan cara menenun menggunakan kafa na'e (benang kapas) dengan warna kuning dan merah.

"Kalau sekarang sudah bervariasi dan bisa kain tenun sembarang. Kalau dulu Sambolo yang dibuat harus menggunakan benang kapas berwarna merah dan kuning," katanya.

Harapkan Pemerintah Mengedukasi

Terkait penggunaan hingga pembuatan sambolo Bima, Fahrurizki berharap Pemerintah Daerah melalui Dinas teknis agar terus melakukan edukasi. Sebab pada saat event atau festival budaya yang lebih ditonjolkan adalah penggunaan peci.

"Penggunaan sambolo ini jangan sampai hilang digantikan dengan peci sebagai penutup kepala. Selain even budaya, saat acara pemerintahan sambolo juga harus dipakai," katanya.

Selain itu, Fahrurizki juga menyarankan Pemerintah Daerah agar mata pelajaran tentang budaya Bima juga dimasukkan ke dalam mata pelajaran PAUD. SD, SMP hingga SMA agar generasi penerus bisa mengetahui dan melestarikan bersama pakaian adat ataupun berkaitan dengan budaya Bima.

"Buatkan juga program tentang budaya. Misalnya hari Sabtu siswa-siswa mengenakan pakaian adat Bima," pungkasnya.




(dpw/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads