Asal-usul Rimpu, Jilbab Lokal yang Dipakai Perempuan Bima Sejak Abad ke-17

Asal-usul Rimpu, Jilbab Lokal yang Dipakai Perempuan Bima Sejak Abad ke-17

Rafiin - detikBali
Minggu, 18 Feb 2024 16:23 WIB
Rimpu, pakaian adat dari Bima
Foto: Rimpu, pakaian adat dari Bima (dok. Istimewa)
Bima -

Rimpu tidaklah asing bagi Suku Mbojo. Mbojo adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Sumbawa, khususnya di wilayah Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Peneliti Budaya dan Sejarah Bima, Fahrurizki, mengatakan rimpu mulai dipakai oleh perempuan yang mendiami kampung Melayu (sekarang Kelurahan Melayu, Kecamatan Asakota, Kota Bima) sejak abad ke-17 atau sekitar tahun 1640.

"Penggunaan rimpu menandai pengaruh Islam di Bima. Saat itu, Bima berstatus kesultanan di bawah pemerintahan Sultan Bima ke-II bernama Abil Khaer Sirajuddin yang memerintah tahun 1640-1682 Masehi," ucapnya kepada detikBali, Minggu, (10/2/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fahrurizki mengatakan masuknya agama dan pengaruh Islam otomatis mengubah kebiasaan masyarakat Bima, salah satunya tata cara berbusana bagi perempuan. Sebab, dalam Islam, perempuan yang sudah dewasa atau akil balig diwajibkan untuk menutup auratnya.

"Saat itu, perempuan Bima mengenakan rimpu belum merata dan tidak setiap hari. Hanya saat keluar rumah, seperti ke pasar dan ke rumah tetangga, hingga hari raya besar Islam," katanya.

ADVERTISEMENT

Menurut Fahrurizki, rimpu mulai populer dikenakan perempuan Bima pada era 1920an, itupun hanya dari kalangan tertentu, seperti anak ulama dan kiai. Sementara warga biasa masih mengenakan kebaya. Tapi Rimpu secara luas dipakai baru 20 tahun kemudian, tepatnya sekitar tahun 1940an sampai sekarang.

"Populernya rimpu dan dipakai secara luas mulai abad ke-20 hingga sekarang," jelas Fahrurizki.

Meski begitu, Fahrurizki menyoroti soal penamaan hingga proses pemakaian rimpu saat ini. Sebab dalam Naskah Bima, nama asli rimpu adalah kerudung sarung. Sementara rimpu adalah tata cara pemakaian kerudung sarung itu sendiri.

"Pemakaian rimpu saat ini juga masih di luar kaidah, salah satunya memakai peniti dan keliru mengikat. Namun hal itu tidaklah masalah karena hanya sifatnya seremonial," terangnya.

Selain itu, tidak ada istilah atau klasifikasi penggunaan rimpu seperti saat ini. Misalnya perempuan menggunakan rimpu berdasarkan status dan usia. Sebab, dalam Naskah Bima, perempuan yang menggunakan rimpu tetap ditutup wajahnya, yang terlihat hanya bagian mata.

"Dalam Naskah Bima rimpu aslinya menggunakan sarung Bali saja. Kalau sekarang sarung dengan berbagai motif dan warna yang dikenal tembe (sarung) nggoli," ujarnya.

Fahrurizki meminta pemerintah daerah agar lebih memperbanyak diskusi dan kajian. Upaya itu sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat terutama kaum muda-mudi yang masih awam dengan rimpu. Apalagi rimpu sudah didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak 2015 lalu.

"Harus diedukasi terus, jangan sampai keliru nanti. Selain identitas budaya Bima, rimpu adalah simbol kehormatan Suku Mbojo," imbuh Fahrurizki.

Penjelasan Rimpu Versi Pemerintah
Sekretaris Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Bima, Masykur, mengungkapkan rimpu terbagi menjadi tiga jenis, antara lain rimpu cili, colo dan cala. Tiga jenis rimpu itu dikenakan oleh perempuan Bima berdasarkan usia dan status.

"Rimpu yang dikenakan menandakan status perempuan Bima apakah sudah menikah atau belum, termasuk juga yang lanjut usia (lansia)," tutur dia.

Rimpu cili dikenakan oleh gadis atau perempuan Bima yang sudah akil balig dan yang belum menikah (perawan). Jenis rimpu cili ini ciri khasnya hanya mata yang terlihat, sedangkan aurat (wajah) tertutup.

Kemudian rimpu colo dikenakan oleh perempuan dewasa yang sudah menikah (bersuami dan punya anak). Ciri khasnya hanya menutupi aurat wajah dan mata masih tetap terlihat.

"Lalu rimpu cala hanya disampirkan di kepala yang dipakai oleh perempuan lanjut usia (lansia) untuk ke sawah dan pasar," jelas Masykur.

Masykur menerangkan perempuan yang mengenakan rimpu biasanya membutuhkan dua lembar sarung kain tenun. Satu lembar dipakai pada tubuh bagian bawah (pengganti rok), dalam bahasa Bima dikenal sanggentu. Sementara satu lembar lainnya untuk jilbab disebut rimpu.

"Jenis sarung untuk rimpu ini bisa kain tembe paleka (sarung produksi pabrik) atau tembe nggoli, sarung yang ditenun tradisional oleh warga," terangnya.

Dahulu, rimpu kerap dipakai oleh perempuan Suku Bima saat menjalankan aktivitas di luar rumah, termasuk dikenakan dalam acara pernikahan atau kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. "Namun sekarang hanya ditemukan dan terlihat dipakai pada saat kegiatan atau festival budaya," kata Masykur.

Masykur menilai, hal itu lantaran pengaruh dan perkembangan zaman. Rimpu saat ini tidak terlihat lagi dipakai acara resmi, tapi rimpu masih banyak digunakan di desa-desa.

Dia menaruh harapan agar seluruh lapisan masyarakat bersama pemerintah daerah melestarikan rimpu, tidak hanya saat dipakai saat festival atau event.

"Rimpu merupakan milik suku atau etnis Bima, kita harus bersama-sama menjaga dan melestarikannya," harap Masykur.

Seperti diketahui, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menetapkan 110 event budaya Indonesia lolos dalam daftar agenda Karisma Event Nusantara (KEN) 2024. Salah satunya adalah festival Rimpu dari Bima, NTB.




(hsa/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads