Lawan Pernikahan Anak di Bawah Umur dengan Perarem

Lawan Pernikahan Anak di Bawah Umur dengan Perarem

I Wayan Selamat Juniasa - detikBali
Sabtu, 30 Mar 2024 21:13 WIB
Desa adat Darmaji saat melakukan rapat bersama pihak-pihak terkait tentang pembuatan perarem pernikahan anak di bawah umur.
Desa adat Darmaji saat melakukan rapat bersama pihak-pihak terkait tentang pembuatan perarem pernikahan anak di bawah umur. (Foto: Istimewa)
Karangasem -

Kasus pernikahan anak di bawah umut di Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali, cukup memprihatinkan. Dengan alasan tradisi turun temurun, anak-anak baru lulus SD berusia sekitar 12-15 tahun, memutuskan menikah.

Ada yang dijodohkan orang tua, ada pula yang terpengaruh ejekan teman yang sudah menikah. Mereka beranggapan bahwa menikah bisa menghasilkan uang sendiri. Belum lagi dengan literasi pendidikan di sana yang bisa dibilang masih rendah.

Melihat masalah pelik itu, I Wayan Doyok terketuk hatinya untuk memutus rantai pernikahan anak di wilayahnya tersebut. Pemuda berusia 20 tahun itu prihatin karena banyak temannya yang harus bekerja dan mengurus anak di usia dini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia kemudian bergabung pada program EMpower yang diadakan oleh Yayasan Ekoturin East Bali Poverty Project (EBPP). Program ini berusaha memutus mata rantai pernikahan dini itu.

"Melalui program tersebut saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk menyoroti kasus pernikahan anak di bawah umur yang cukup banyak terjadi di wilayah saya dan juga beberapa Dusun Yanga dan di Desa Ban," kata Doyok, Sabtu (30/3/2024).

ADVERTISEMENT

Program diawali dengan melakukan penyuluhan ke beberapa wilayah dengan melakukan interaksi dan pemahaman langsung terhadap para orang tua yang memiliki anak baru lulus SD. Tentang usia berapa seharusnya anak menikah, bagaimana kondisi mereka jika nantinya menikah di bawah umur, dampaknya ke masyarakat, serta membuat perbandingan dengan masyarakat yang menikah ketika usianya sudah matang dan mempunyai pendidikan yang tinggi.

"Selain itu, kami juga memberikan pemahaman terkait kesetaraan gender. Mengingat di wilayah saya anak laki-laki biasanya lebih cenderung disekolahkan lebih tinggi daripada anak perempuan. Karena para orang tua beranggapan jika anak perempuan nantinya hanya akan jadi ibu rumah tangga," ujar Doyok.

Namun selama ia dan teman-temannya melakukan penyuluhan dan pemahaman terkait dampak dari pernikahan anak di bawah umur. Banyak masyarakat yang memberikan tanggapan negatif walaupun ada juga yang menyambut positif.

Bahkan kadang masyarakat memberikan cibiran kepada Doyok dan teman-temannya yang mengatakan 'jangan mengurus orang lain urus saja diri sendir'. Kata-kata itulah yang paling sering didengar ketika melakukan penyuluhan ke masyarakat.

Meski direspons negatif oleh masyarakat, Doyok dan teman-temannya tidak menyerah. Mereka kemudian mendekati tokoh masyarakat seperti kelian banjar dan adat untuk mengatasi masalah itu.

Hingga akhirnya desa adat di sana mengambil kesimpulan harus ada aturan adat atau perarem. Perarem inilah yang mengatur larangan pernikahan anak di bawah umur.

Dalam menyusun perarem tersebut ada beberapa pihak yang terlibat mulai dari Perbekel, Bendesa Adat, Dinas Sosial, Yayasan Ekoturin dan lainnya.

Akhirnya dari 19 desa adat yang ada di Desa Ban, 3 di antaranya yaitu Desa Adat Ban, Desa Adat Darmaji, dan Desa Adat Pengalusan sepakat untuk membuat sebuah perarem yang melarang anak-anak menikah. Sedangkan 16 Desa Adat sisanya masih dalam proses penyusunan perarem.

Semenjak adanya perarem tersebut, Doyok mengaku kasus pernikahan anak di bawah umur di tiga desa adat tersebut sudah mulai berkurang. Jadi ia beranggapan bahwa perarem sangat efektif untuk menekan masyarakat supaya tidak menikahkan anaknya yang masih di bawah umur.

"Saya berharap untuk ke depan, seluruh desa adat ikut membuat perarem tentang pernikahan anak di bawah umur," ucapnya.

Bendesa Adat Darmaji I Ketut Dayuh mengatakan bahwa perarem tentang pernikahan anak di bawah umur dibuat setelah adanya kesepakatan bersama antara pihak desa adat dengan masyarakat dan juga pihak-pihak lainnya. Perarem tersebut sangat efektif untuk menekan kasus pernikahan anak di bawah umur di wilayahnya. Mengingat dulu cukup banyak kasus pernikahan dini.

"Isi dari perarem tersebut adalah melarang anak-anak yang masih di bawah umur untuk menikah. Jika hal tersebut dilanggar maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan yang sudah menjadi kesepakatan bersama," kata Dayuh.

Sanksi yang dikenakan berupa sanksi adat, mulai dari denda beras 50 kg, atau bisa diganti dengan uang tunai. Selain itu juga ada sanksi lain berupa bebantenan ketika ada Piodalan di Pura Desa. Jadi yang melaksanakan pernikahan di bawah umur diwajibkan untuk menghaturkan bebantenan sesuai dengan isi perarem.

"Dengan adanya sanksi tersebut para orang tua kini jarang ada yang mengizinkan anaknya untuk menikah di bawah umur, karena akan menjadi perhatian masyarakat lainnya ketika kena sanksi," ujar Dayuh.

Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Pemenuhan Hak Anak Dinas Sosial Karangasem Ni Made Suradnyani mengatakan selain dari segi adat, pemerintah juga kerap melakukan penyuluhan soal masalah itu. Pihaknya juga membentuk agen 2P (Pelopor dan Pelapor) melalui forum anak yang terus melakukan pengawasan supaya tidak ada lagi yang melakukan pernikahan di bawah umur.

"Dengan beberapa upaya yang sudah kami lakukan tersebut dan dibantu juga oleh beberapa desa telah menerapkan perarem. Saya harap kasus pernikahan anak di bawah umur di Karangasem dapat ditekan bahkan kalau perlu tidak ada lagi kasus serupa untuk ke depan," tandas Suradnyani.




(dpw/dpw)

Hide Ads