Desa Akah, Kabupaten Klungkung, Bali, menggelar tradisi ngodakin atau pengecatan ulang benda sakral utamanya tapakan barong dan rangda. Rentetan upacara dilaksanakan mulai Jumat (28/7/2023) hingga Minggu (30/7/2023).
Pengodakan atau perbaikan terakhir dilaksanakan 13 tahun silam pada 2010, sehingga banyak yang sudah rusak. Upacara ini diharapkan memberi kelimpahan berkah dan rezeki, serta keselamatan.
Ada sembilan sesuhunan (dewa-dewi) yang disucikan kembali, di antaranya Ida Bhatara Gede Sakti (barong) lan Ida Bhatara Raja Bhatari (rangda), Ida Bhatara Lingsir, Sang Hyang Kalika, Ratu Rarung, ancangan Ida Bhatara berupa Lenda-Lendi, Wak lan Wanara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bendesa Adat Akah Ida Bagus Nyoman Wirata menjelaskan ngodakin dilaksanakan lantaran sembilan sesuhunan yang disungsung warga adat di Desa Akah belum pernah dilakukan perbaikan. Sehingga dilaksanakan prosesi selama tiga hari tersebut sesuai hasil rapat krama adat Akah.
"Ritual diawali ngetas di Pura Dalem Desa Adat Akah, bertepatan Purnama Kedasa, 5 April 2023. Dilanjutkan ngodakin ring pekoleman Ida Sesuhunan di Pura Puseh Gumi Desa Adat Akah. Kemudian upacara melaspas, masupati di Utama Mandala Pura Dalem Akah, Sukra Kliwon Sungsang, Jumat (28/7/2023) hingga hari ini," terang Wirata kepada detikBali, Sabtu (29/7/2023).
Karya Ngodakin Pralingga Ida Bhatara dipimpin Ida Pedanda Wayahan Keniten dari Gria Tengah Sengguan, Klungkung. Selanjutnya ngerehang (menarikan dengan membangkitkan aura gaibnya) Ida Bhatara di Setra Desa Adat Akah malam harinya.
"Nanti dilanjutkan dengan metirta yatra, setelah itu Ida Bhatara mesolah napak pertiwi di Pura Dalem Akah, dan terakhir nyineb di hari Minggu malam," paparnya.
Selain ngodakin, juga dilaksanakan upacara pawintenan 16 orang pemundut tapakan Pralingga Ida Bhatara kesembilan sesuhunan. "Upacara tidak putus, semua umat di Desa Akah tedun bergiliran dari 1300 KK. Paling sakral upacara tengah malam di Kuburan Akah ada upacara ngerehang," jelasnya.
Pengodakan atau perbaikan terakhir dilaksanakan 13 tahun silam pada 2010, sehingga banyak yang sudah rusak. Upacara ini diharapkan memberi kelimpahan berkah dan rezeki, serta keselamatan.
Sementara itu, Wirata menyebut tradisi ini menelan biaya cukup besar yang bersumber dari krama, yaitu per KK Rp 100 ribu (1.300 KK). "Dari proses awal hingga upacaranya menghabiskan dana ratusan juta rupiah, selain urunan krama juga ada donatur atau punia lain," tandasnya.
(irb/iws)