Keunikan Tradisi Megebeg-gebegan Sehari Jelang Nyepi

Buleleng

Keunikan Tradisi Megebeg-gebegan Sehari Jelang Nyepi

Niluh Pingkan Amalia Pratama Putri - detikBali
Rabu, 15 Mar 2023 23:35 WIB
Pecalang atau petugas pengamanan desa adat di Bali memantau situasi jalan raya saat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1944 di wilayah Desa Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Kamis (3/3/2022). Pengamanan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1944 di desa tersebut untuk menjamin keamanan dan kelancaran umat Hindu dalam menjalani
Pecalang memantau situasi jalan raya saat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1944 di Desa Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Kamis (3/3/2022). Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Buleleng - Bali dengan segala pesonanya yang memikat, mempunyai banyak tradisi dan budaya yang penuh dengan kearifan lokal. Tradisi Megebeg-gebegan contohnya. Tradisi menjelang Nyepi ini masih dilestarikan turun-temurun oleh masyarakat Buleleng.

Apa Itu Megebeg-gebegan?

Dilansir dari disbud.bulelengkab.go.id, tradisi Megebeg-gebegan berkaitan erat dengan ritual agama hindu yang dilakukan masyarakat Desa Pekraman Dharma Jati, Tukad Mungga.

Pemuda desa atau sekaa teruna akan memperebutkan kepala anak sapi atau godel, yang digunakan sebagai sarana dalam menggelar upacara persembahan (sesajen) saat prosesi atau ritual mecaru.

Mecaru bertepatan saat hari Pengerupukan atau tepat sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Sehingga, tradisi Megebeg-gebegan dilangsungkan rutin setahun sekali dan bertempat di catus pata agung (perempatan) Desa Pekraman Dharma Jati, Tukad Mungga.

Ritual Bhuta Yadnya berupa pecaruan Tawur Agung Kesanga yang dilaksanakan sehari sebelum Nyepi tersebut, bukan tanpa alasan. Melainkan bertujuan menyeimbangkan bhuana agung dan bhuana alit agar keharmonisan terjaga.

Keunikan Tradisi Megebeg-gebegan

Sebagaimana dilansir dari undiksha.ac.id, tradisi Megebeg-Gebegan sangatlah unik. Di mana terdapat nilai-nilai pendidikan dalam hal tattwa, etika, upacara, estetika, kebersamaan, dan sosial budaya.

Upacara yang dipimpin pemangku Kahyangan Tiga ini, menjadi salah satu media untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Ialah bhuta yadnya bagi masyarakat Desa Pakraman Dharmajati. Harapannya, warga Dharmajati mampu memaknai dan memahami makna upacara tersebut.

Setelah upacara pecaruan, sekaa teruna di empat banjar di Desa Dharmajati akan memperebutkan daging godel yang menjadi simbol dari bhuta kala. Nantinya, daging godel yang diperoleh akan dibawa pulang dan disantap bersama anggota sekaa teruna. Hal ini berbeda dengan caru yang biasanya selalu dibuang.

Prosesi Tradisi Megebeg-gebegan?

Sementara itu, dilansir dari stahnmpukuturan.ac.id, terdapat empat tahap dalam tradisi Megebeg-gebegan. Pertama, memohon izin (ngaturang piuning), di mana masyarakat terlebih dahulu memohon izin atau biasa disebut ngaturang piuning ke pura-pura.

Ngaturang piuning dilakukan di Pura Khayangan Tiga maupun Pura-pura Pesanakan (Pura Tegal Penangsaran, Pura Beji, dan Pura Tirta) dengan menghaturkan banten pejati lengkap dengan runtutannya.

Tujuannya untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar masyarakat diberikan petunjuk dalam melaksanakan tradisi Magebeg-gebegan. Sehingga, dimanifestasikan sebagai bukti kesungguhan hati dan ucapan terima kasih. Sekaligus menjadi momentum memohon maaf jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan tradisi Magebeg-gebegan.

Kedua, mapepade dilaksanakan sebelum proses penyembelihan godel. Prosesi ini dilakukan di perempatan agung (catus pata) Desa Dharmajati. Masyarakat akan mengelilingi pelinggih taksu gede (pelinggih pecalang agung) sebanyak tiga kali menggunakan konsep murwa daksina, yakni bergerak menuju ke atas atau menuju tingkatan yang lebih tinggi.

Selanjutnya, melakukan persembahyangan di pura dalem pada sore hari sekitar pukul 16.00 Wita. Suara kulkul akan berbunyi menjadi pertanda persembahyangan dimulai. Warga pun sembahyang bersama dengan membawa banten berisi nasi selem (hitam) putih dan membawa danyuh (daun kelapa kering).

Sesajen tersebut sebagai rasa terima kasih kepada Ida Sang Yang Widhi Wasa. Adapun danyuh (daun kelapa kering) nantinya dikumpulkan di jabaan pura. Kemudian, persembahyangan dilaksanakan dengan suasana hening dan damai disertai suara gamelan dan dharma gita.

Prosesi terakhir, pecaruan di perempatan agung (catus pata) sekitar pukul 18.00 Wita. Dengan sarana utama caru, terdiri dari caru dasar yakni caru panca sata dengan memakai lima ekor ayam (ayam berbulu putih, ayam berbulu merah atau biing, ayam berbulu kuning atau siungan, ayam berbulu hitam atau ireng, dan ayam berbulu campuran atau brumbun).

Adapun posisi penempatan caru pertama sebagai alas dasar berupa kelabang yang terbuat dari pohon kelapa dengan jumlah perincian bangun urip sesuai urip pengider bhuana (pengarah timur uripnya lima, arah selatan daksina uripnya sembilan, arah barat (pacina) uripnya tujuh, arah utara uripnya empat dan ditengah-tengah (madia) uripnya delapan), sehingga keseluruhan urip menjadi 33.

Semua jumlah sate yang digunakan saat pecaruan juga berjumlah 33 sesuai jumlah urip pengider ider bhuana. Setelah kelabang dijadikan sebagai dasar, nantinya di atas akan diletakkan kelatkat dan daun telujungan, di atasnya caru yang memakai ayam panca sata mengambil posisi nyatur.

Posisi nyatur yakni caru ayam putih di sebelah timur, caru ayam merah atau biing di sebelah selatan, caru ayam putih siungan atau kning di sebelah barat, caru ayam hitam di sebelah utara, dan caru brumbun di tengah-tengah. Sementara di ulun caru diletakkan sanggah cerukcuk yang berfungsi sebagai suryan caru.

Suryan Caru lengkap dengan bantennya, yakni daun telujungan, penyeneng teg-teg daksina, pisang payasan, beras jinah medaging sujang. Kemudian, caru yang di bawah sebagai ulu jenis, bantennya berupa sorohan alit, segehan Panca Warna, di mana caru tersebut sesuai arah mata angin pengider bhuana dan pengurip masing-masing.

Di hulu bagian tengah terdapat banten pengulapan, pengambian, suci, supatan kampuh agung, sangga urip, prasista, dhurmanggala,biakala, tebasantulud lara, sapulara, kala melaradan, pemuka kala.

Pada sanggar cerukcuk tuntutan jenis bantennya adalah suci, simpatan, dan pajegan. Sementara di sor sanggar tutuan diletakkan soroan, segehan manca warna, dan pengresikan menggunakan prasista, durmanggala, dan biakaon.

Di samping caru panca sapta, terdapat caru godel dengan posisi pertama kepala, tangan, kaki atau grigis. Setelah itu ditutupi kulitnya atau bayang-bayang disertakan olahan godel 99 tanding.

Adapun tanding yang dihaturkan berupa sate pulung lawar barak dan putih, dilengkapi dengan segehan cacahan warna merah dan putih, tumpeng, tulung, keben, dan kuangen. Di mana total jumlahnya 99 tanding sesuai jumlah urip suku patnya, yaitu seekor godel.

Artikel ini ditulis oleh Niluh Pingkan Amalia Pratama Putri peserta Program Magang Bersetifikat Kampus Merdeka di detikcom.


(irb/irb)

Hide Ads