Detikers tahu tradisi Ngoncang? Tradisi ini merupakan kebudayaan turun temurun dari Bali yang sayangnya kini mulai jarang dijumpai. Padahal, tradisi ini menyimpan sejarah dan makna yang baik bagi kita dalam bermasyarakat. Agar lebih jelasnya, simak berikut penjelasan mengenai tradisi Ngoncang, sebuah budaya menumbuk padi di Bali.
Sejarah Singkat Tradisi Ngoncang
Disitat dari laman resmi Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Bali punya tradisi menumbuk padi pada lesung, atau biasa disebut ngoncang. Tradisi ini dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat Bali.
Ngoncang dilakukan oleh lima hingga delapan orang dalam satu kelompok yang memukulkan elu (batang kayu berbentuk bulat memanjang) ke dalam ketungan atau lesung. Ketungan adalah alat yang digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras pada zaman dahulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pukulan dilakukan secara bergantian, beraturan, agar nantinya dari pukulan-pukulan tersebut akan menghasilkan sebuah irama yang indah. Irama yang dimainkan mengandung arti yang sakral.
Tradisi ngoncang dilaksanakan sebelum mulainya sebuah upacara Pitra Yadnya atau saat ada peristiwa yang berkaitan dengan alam termasuk saat gerhana bulan. Selain itu juga bisa menjadi pembuka saat diadakannya upacara Motonan (Sapu Legar) dan saat upacara Ngaben (Ngaben Masal).
Konon, tradisi ini juga harus dilaksanakan saat gerhana bulan sebab dahulu dipercaya ada raksasa bernama Kalarau. Pada saat gerhana bulan, raksasa Kalarau memakan bulan sehingga menimbulkan gerhana bulan. Demi menggagalkan Kalarau, penduduk desa segera menggelar tradisi Ngoncang. Alunan nada tersebut mampu membuat raksasa Kalarau mengurungkan niatnya.
Tradisi ini oleh masyarakat setempat diyakini mampu menambah aura positif dan menetralisir aura negatif pada pemukiman. Tradisi ngoncang lumrahnya hanya dapat dilakukan oleh kaum wanita saja, sebab dahulu hanya ibu-ibu yang menumbuk padi menjadi beras. Tapi kini Ngoncang juga kerap kali dilakukan oleh para pria.
Kini seiring dengan berjalannya waktu, tradisi ini semakin jarang ditemui di masyarakat. Namun, tradisi yang berasal dari Singaraja ini, masih bisa dijumpai salah satunya di daerah Banjar Pekraman Paketan, keluruhan Paket Agung, Singaraja, Kabupaten Buleleng.
Makna Tradisi Ngoncang
Tradisi ini cukup unik sehingga bisa menjadi daya tarik wisata. Tradisi Ngoncang dilaksanakan dalam beberapa upacara, salah satunya pada saat Ngaben atau ritual umat Hindu pada saat mengalami kematian.
Dalam upacara Ngaben, tradisi Ngoncang disisipkan saat pemandian mayat dan menghantarkan mayat ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Saat prosesi, para pengayah tradisi Ngoncang akan bersiap-siap dan segera memukul ketungan dengan elu.
Tradisi Ngoncang disisipkan pada upacara ngaben sebagai sarana komunikasi kepada roh-roh leluhur mereka. Saat prosesi Ngoncang, para wanita yang jadi pengayah harus menggunakan pakaian adat ke pura dengan kain di kepala.
Tradisi ngoncang dikenal sebagai simbol kebersamaan dan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya, sesuai dengan ajaran agama Hindu yakni Tri Hita Karana.
Menurut I Made Budiastika, Rohaniawan Hindu, dikutip dari laman resmi Kementerian Agama menjelaskan Tri Hita Karana merupakan ajaran agama Hindu yang selalu menitikberatkan agar antar sesama bisa hidup berdampingan, rukun, penuh toleransi dan rasa damai.
Tri Hita Karana bisa diartikan sebagai tiga penyebab kesejahteraan. Istilah ini diambil dari kata tri yang artinya tiga, hita yang artinya keseimbangan atau sejahtera, dan karana yang artinya penyebab. Unsur-unsur Tri Hita Karana meliputi Tuhan Yang Maha Esa, alam, dan manusia.
Nah detikers, itulah tadi penjabaran lengkap mengenai tradisi ngoncang. Menarik sekali, ya? Marilah kita melestarikan kebudayaan turun temurun, jangan sampai jadi punah. Semoga artikel ini bisa menambah wawasanmu!
(aau/fds)