Tihingan, Desa Perajin Gamelan Bali dari Zaman Kerajaan Gelgel

Tihingan, Desa Perajin Gamelan Bali dari Zaman Kerajaan Gelgel

Agus eka - detikBali
Kamis, 05 Mei 2022 04:10 WIB
Salah satu aktivitas perajin gamelan di Desa Tihingan, Kecamatan Banjarankan, Klungkung
Salah satu aktivitas perajin gamelan di Desa Tihingan, Kecamatan Banjarankan, Klungkung. (Foto : IST)
Klungkung -

Bengkel gamelan Bali sudah bertumbuh hingga ke beberapa daerah di Pulau Dewata.

Jika dulu gamelan berbahan perunggu hanya bisa didapat di Klungkung, kini produksi gamelan bisa ditemui sampai ke Bangli, Gianyar, Badung, hingga beberapa di Buleleng.

Dari sisi sejarah, aktivitas pembuatan gamelan di Klungkung menarik untuk dicermati. Warga di Desa Tihingan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Bali sudah bergelut jadi pandai gamelan sejak zaman Kerajaan Gelgel.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di desa ini, hampir seluruh warganya berprofesi membuat gamelan. Sebagian besar produk yang sudah beredar di Bali, bisa dipastikan hasil tangan dingin perajin asal Desa Tihingan, Klungkung. Pembuatan gamelan sudah jadi tradisi turun-temurun.

Karena keunikan itu, Pemkab Klungkung telah usulkan salah satu kekhasan Desa Tihingan tersebut ke Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional. Kini usulan itu tengah menunggu penetapan.

ADVERTISEMENT

Sutama Gamelan, satu dari sekian bengkel gamelan di Desa Tihingan, yang tidak pernah stop produksi. Setiap pagi, para pekerja mulai bergelut membakar campuran tembaga dan timah putih jadi perunggu.

Selanjutnya, campuran bahan baku tadi dibekukan, lalu dibentuk jadi lempengan.

Lempengan itu yang kemudian ditempa beberapa orang pandai besi, sampai mendapat bentuk yang diinginkan. Setelah itu, masuklah pada tahap penghalusan. Tiap pengerjaan instrumen memakai teknik yang berbeda.

"Namanya proses nguwad. Itu bahasa Indo-nya melenturkan. Membentuk instrumen itu seakan melenturkan bahannya dulu," ujar Komang Wira Jaya, si pemilik bengkel Sutama Gemelan, Rabu (4/5/2022) pagi.

Komang mewarisi kemampuan membuat gamelan dari ayahnya, Sutama. Jauh sebelum itu, para tetua di keluarganya sudah lebih dulu piawai membuat gamelan.

Meski sering membuat gamelan, Komang Wirajaya mengaku tidak bisa memainkannya. Tapi untuk urusan menentukan standar nada, ia cukup piawai. Bahkan tanpa memakai alat pengukur standar nada atau tuner.

Ia memproduksi sejumlah instrumen di antaranya reong, cengceng, tawa-tawa, gangsa, dan lain-lain. Satu perangkat gamelan lengkap bisa bernilai Rp 300 juta lebih. Sedangkan untuk paket gamelan baleganjur (semi lengkap) dijual Rp 80 juta.

Pria 31 tahun ini mengakui, pesanan gamelan didominasi dari Jawa dan Sulawesi. Penjualan pernah tembus sampai ke beberapa negara Asia dan Eropa. Akan tetapi permintaan ditentukan berdasarkan keinginan konsumen. Paling umum soal permintaan standar nada.

Biasanya pemesan membawa alat musik apa saja, agar nada gamelan sesuai yang diminta. Menurut Komang, permintaan gamelan di Bali tidak akan berhenti. Mengingat keberadaan gamelan selalu terkait dengan kegiatan upacara keagamaan dan tradisi budaya di Bali. (*)




(dpra/dpra)

Hide Ads